Islam Di Domba Hitamkan

Ditengah kekacauan,Fitnah, teror dan kekerasan,umat Islam tetap tabah berdiri mempertahankan keyakinannya, dengan memperkenalkan agamanya dengan cara-cara damai dan menyejukkan.

Akhirnya Sunni dan Syiah Bersatu

Bukankah mereka mengimani tuhan yang sama, Mencintai Nabi dan Rosul yang sama, memiliki Kitab suci yang sama, Mempunyai Syahadah yang sama ?, Kemudian mereka saling fitnah dan menumpahkan darah.

Pengaruh Peradaban Islam Terhadap dunia Modern

Pada masa lampau, peradaba Islam memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dunia Barat, kini Islam dan Barat saling menghunus pedang, Islam sebagai Tokoh Kegelapan, sedangkan Barat sebagai Tokoh Peradaban.

Jihad Dan Terorisme dalam Prespektif Islam

Siapa mereka yang mengatakan terorisme merupakan bagian dari jihad fi sabilillah ?? sedangkan teror sangat ditentang oleh teks rujukan utama umat Islam.

Lagenda Assasin "Penebar Maut Lembah Alamut"

Asyhasin(assassin) Antara Lagenda dan Mitos, Siapa Sangka Assassin yang terkenal sebagai Game, adalah Kisah Nyata Pasukan Khusus sekte pecahan Syiah Ismailiyah.

Monday 30 November 2015

KHAWARIJ DAN TAFSIR

cahayawahyu.files.wordpress.com
Perkembangan Tafsir sebagai salah satu upaya para Mufassirin dalam menginterpretasi ayat-ayat suci Al-Qur’an mengalami pasang surut seiring masa dimana upaya ijtihad tersebut dikerahkan. Fenomena tersebut terus mewarnai karya para Mufassirin sejak masa Rasulullah SAW, para sahabat, para tabi’in, para tabi’ tabi’in, bahkan sampai pada mereka yang hidup pada masa modern sekarang ini. 

Napak tilas tentang tafsir yang berkembang pada kaum Khawarij adalah suatu obyek bahasan yang patut untuk diperbincangkan dalam menjelajahi dinamika perkembangan tafsir dari masa ke masa. Hal ini disebabkan karena adanya pertempuran yang terjadi antara dua golongan, Ali dan Mu’awiyah. Pemicu semua ini adalah tangan kanan Mu’awiyah sendiri, Amr bin ‘Ash yang terkenal sebagai orang licik dengan meminta jalan damai dengan mengangkat Al-Qur’an keatas Qurra’ dengan mengadakan arbitrasi.

Peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbitrasi manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. “ La hukma illa lillah “ (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau “ La hakama illa Allah “ (tidak ada pengantara selain dari Allah), menjadi semboyan mereka.[1]

Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah, dan oleh karena itu, mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam terkenal dengan nama Al-Khawarij yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau seceders.[2]

 Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian, sejarah dan Firqah Khawarij ?
  2. Bagaimana orientasi Khawarij dalam tafsir ?
  3. Apa karya-karya tafsir Khawarij ?
A. Pengertian, Sejarah dan Firqah Khawarij 

Kaum Khawarij adalah suatu kelompok yang memisahkan diri dari Amirul Mu’minin (pemimpin orang mu’min) Ali bin Abi Thalib pada tingkatan derajat kebebasan dan juga memisahkan diri dari Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang telah menebarkan permusuhan dibawah pengaruhanya[3] sabagai lawan politik didalam menyelesaikan sengketa dalam masalah ketatanegaraan dimana Ali bin Abi Thalib telah menerima arbitrase. Dengan demikian kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan rasulnya.

Seperti dikemukakan sebelumnya, kaum Khawarij terdiri atas pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka keluar dari barisan Ali. Tetapi ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 dari Surah Al-Nisa’, yang didalamnya disebutkan “ keluar dari rumah lari kepada Allah dan rasulnya”[4]

Ungkapan “Tiada hukum kecuali hukum Allah” adalah merupakan f argon madzhab Khawarij. Interpretasi terhadap ungkapan ini ternyata berbeda-beda sesuai dengan jumlah cabang-cabang khawarij. Bertolak dari pemahaman yang keliru terhadap ungkapan diatas dan penakwilan yang sembrono terhadap nash-nash Al-Qur’an, mereka telah banyak melakukan kemungkaran dan kerusakan-kerusakan dimuka bumi. Mereka membunuh dan merampas harta kaum muslimin dengan anggapan bahwa orang yang berada diluar mereka bukanlah muslim sehingga darah dan hartanya menjadi halal. Aliran mereka adalah aliran yang pertama kali diantara ummmat Islam sendiri[5]

Berikut ini sekilas gambaran kelompok-kelompok Khawarij:

1. Al-Muhakkimah

Golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali, yang disebut golongan al-Muhakkimah. Bagi mereka, Ali, Muawiyah, kedua pengantara ‘Amr Ibn ‘Ash dan Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar.

2. Al-Azariqah 

Golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar lagi kuat sesudah golongan al-Muhakkimah hancur adalah golongan al-Azariqah. Daerah kekuasaan mereka terletak diperbatasan Irak dengan Iran. Nama ini diambil dari Nafi’ Ibn al-Azraq. Pengikutnya, menurut al-Baghdadi, berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Khalifah pertama yang mereka pilih adalah Nafi’ sendiri dan kepadanya mereka beri gelar Amir al-Mu’minin.

Subsekte ini sikapnya lebih radikal dari la-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai tern kafir, tetapi tern Musyrik atau Palyteist. Dan didalamnya merupakan dosa yang terbesar, lebih besar dari kafir.

3. Al-Nadjat

Nadjah Ibn ‘Amir al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin menggabungkan diri dengan golongan al-Azariqah. Tetapi dalam golongan yang tersebut akhir ini timbul perpecahan. Sebagian dari pengikut-pengikut Nafi; Ibn al-Azraq, diantaranya Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil dan Ataih al-Hanafi, tidak dapat menyetujui paham bahwa orang Azraqi yang tak mau berhijrah kedalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik. Demikian pula mereka tak setuju dengan pendapat tentang boleh dan halalnya dibunuh anak istri orang-orang Islam yang tak sepaham dengan mereka.

Nadjah, berlainan dengan kedua golongan diatas, berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalam neraka dan kemudian akan masuk dalam surga.

4. Al-‘Ajaridah

Mereka adalah pengikut dari Abd al-Karim Ibn ‘Ajrad yang menurut al-Syahrastani merukan salah satu teman dari ‘Atiah al-Hanafi.

Kaum al-‘Ajaridah bersifat lebih lunak karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagaimana diajarkan oleh Nafi’ ibn al-Azraq dan Najdah,tetapi hanya merupakan kebajikan. Dengan demikian kaum Ajaridah boleh tinggal diluar daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir. Disamping itu harta yang boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta orang yang telah mati terbunuh.

Selanjutnya kaum ajaridah ini mempunyai paham puritanisme Surah Yusuf dalam al-Quran membawa cerita cinta dan al-Qur’an sebagai kitab suci, kata mereka, tidak mungkin mengandung cerita cinta. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui Surah Yusuf sabagai bagian dari al-Qur’an. 

B. Orientasi Khawarij dalam Tafsir

Tujuan utama Khawarij dalam penafsiran al-Qur’an adalah pengimplementasikan dari prinsip-prinsip ajaran Khawarij yang mereka propagandakan. Adapun yang mereka propagandakan berupa prinsip-prinsip ajaran Khawarij disela-sela ayat suci al-Qur’an dapat terlihat dari usaha yang mereka tempuh dalam menafsirkan ayat-ayat suci al-Qur’an yang banyak untuk menguatkan pendapat mereka bahwa orang-orang muslim yang melakukan dosa besar adalah kafir. Begitupula orang-orang muslim yang selalu berbuat dosa secara terus menerus tanpa bertobat dari dosa-dosa itu, sehingga disitu dapat kita lihat bahwa dosa besar sama saja dengan dosa kecil yang dilaksanakan terus menerus bisa membuat seseorang menjadi kafir. Contoh penafsiran Khawarij yang bisa didapatkan dalam penafsiran ayat-ayat suci al-Qur’an, manakala Allah SWT berfirman:

Artinya : “ Dia-lah yang menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang beriman. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan ” (Surah at-Thagabun : 2)[6]

Khawarij menafsirkan ayat ini bahwa manusia itu hanya ada dua macam yaitu orang yang beriman dan orang yang kafir, serta tidak ada golongan selain dari itu termasuk orang fasik, karena bagi mereka orang fasik itu adalah kafir bukan orang mukmin. 

Dan firman Allah SWT:

Artinya : “ Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Mengapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab yang disebabkan kekafiranmu itu " (Surah Ali Imran : 106)[7]

Dalam menafsirkan ayat ini Khawarij berpendapat bahwa tidak mungkin orang-orang fasik menjadi golongan yang putih mukanya karena pada hari itu orang yang putih mukanya adalah orang yang beriman sedangkan orang yang hitam mukanya adalah orang kafir.[8]

C. Karya-Karya Tafsir Khawarij 

Dr. Azzahaby RA menjelaskan dalam ruang lingkup bahasanya yang berbicara tentang hasil-hasil karya tafsir golongan Khawarij dengan bertanya kepada golongan Ibadiah modern, dengan mendapatkan keterangan bahwa golongan Khawarij memiliki hasil karya yang sedikit dalam tafsir dibandingkan dengan golongan-golongan yang lain dalam Islam. Dan hasil-hasil karya tersebut hanya disimpan oleh sebagian ulama Ibadiah yang terdahulu dan modern. Dr. Azzahady menjelaskan bahwa diantara karya-karya tafsir Khawarij itu anatara lain adalah :
  1. Tafsir Abd Rahman Ibn Rastum al-Farisy, abad ke-3 hijriah 
  2. Tafsir Hud Ibn Muhakkam al-Hawary, abad ke-3 hijriah
  3. Tafsir Abu Ya’kub Yusuf Ibn Ibrahim al-Wajalany, abad ke-6 hijriah
  4. Tafsir Humayya Azzady ila Daril Ma’adi oleh Syekh Muhammad Ibn Yusuf Attalbah, abad ke-6 hijriah
Dengan demikian tafsir-tafsir mereka atas usul atau dasar yang telah terdahulu kita tetapkan dari golongan ini, dan tujuannya adalah mengokohkan syariat mereka pada aqidah, politik dan syariat-syariat.[9]

Kesimpulan
  • kaum Khawarij adalah suatu kelompok yang memisahkan diri dari pemimpin orang mukmin Ali bin Abi Thalib pada tingkatan derajat kebebasan dan juga memisahkan diri dari Muawiyah Ibn Abi Sufyan yang telah menebarkan permusuhan dibawah pengaruhnya, dimana kaum Khawarij ini memandang diri mereka, sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan rasulnya.
  • Adapun kelompok-kelompok kaum Khawarij itu adalah :
          a. Al-Muhakkimah

          b. Al-Azariqah

          c. Al-Najdat

         d. Al-Ajaridah
  • Orientasi Khawarij dalam menafsirkan al-Qur’an bertujuan untuk mengimplementasikan dari prinsip-prinsip ajarannya yang mereka propagandakan.
  • Adapun karya-karya tafsir Khawarij yang dinyatakan oleh Dr Azzahady antara lain :
  1. Tafsir Abd Rahman Ibn Rastum al-Farisy, abad ke-3 hijriah 
  2. Tafsir Hud Ibn Muhakkam al-Hawary, abad ke-3 hijriah
  3. Tafsir Abu Ya’kub Yusuf Ibn Ibrahim al-Wajalany, abad ke-6 hijriah
  4. Tafsir Humayya Azzady ila Daril Ma’adi oleh Syekh Muhammad Ibn Yusuf Attalbah, abad ke-6 hijriah
DAFTAR PUSTAKA

Ø Al-Qur’an al-Karim

Ø Al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Kairo, Dar al-Ma’arif, Jilid IV

Ø Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Bandung, CV Penerbit J-ART, 2005

Ø Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, Penerbit UI-Press, Cet V, 1986

Ø Muhammad Mahzum, Meluruskan Sejarah Islam : Studi kritis Peristiwa Tahkim, Tarjamah, Tahqiq Mawaqif Ash-Shahabah Fi al-Fitnah, Bandung, CV Pustaka Setia, Cet I, 1994

Ø Muhammad Sayyid Jibril, Mudkhla ila Manahijil Mufassirin, Kairo, Ba-bul Akhdar al-Musyahhid al-Husaini, 1408 H – 1987 M


[1] Tarikh Al-tabari (selanjutnya disebut Tarikh), Kairo, Dar Al-Ma’arif, jilid III, h. 55 dan 57.

[2] Harun Nasution, “Teologi Islam“ Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, Penerbit Iniversitas Indonesia (UI-Press), cet. V, 1986, h. 8.

[3] Muhammad Sayyid Jibril, Makalah ila Manahijil Mufassirin, Kairo, Ba-bul Akhdar AL-Musyahhid AL-Husain, 1408 H - 1987 M, h. 164

[4] Op. Cit, h. 13

[5] Muhammad Mahzum, Meluruskan Sejarah Islam: Studi Kritis Peristiwa Tahkim, Tarjamah, Tahqiq Mawaqif Ash-Shahabah Fi al-Fitnah, Bandung, CV. Pustaka Setia, cet I, 1994, h.58

[6] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan terjemahannya, Bandung, Cv Penerbit J-ART, 2005, h. 556

[7] Ibid, h. 63

[8] Op, cit. h

[9] Ibid, h

Thursday 12 November 2015

MURSALAH DAN BID’AH

Agama Islam merupakan agama yang sempurna, dalam hal syariat. sebagaimana yang telah diterangkan dalam Kitabullah SWT. yang berbunyi :
                                                       الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي   

                      وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.[1]

Dalam kehidupan keberagamaan khususnya bagi ummat Islam, sering terjadi kesalahan dalam menjalankan syariat agama sesuai dengn yang telah digariskan oleh Allah dan Rasulullah saw. baik yang diketahui maupun yang samar-samar bahkan telah muncul hal-hal yang baru yang dianggapnya sebagai perbuatan ibadah yang tidak ada kerangan mengenai hal atau perbuatan tersebut dalam agama kita (Islam). Demikianlah yang selanjutnya oleh kalangan ulama menyebutnya sebagai perbuatan Bid’ah. 

Oleh karena kurangnya pengkajian terhadap al-Din utamanya pengkajian tentang kaidah ushuluiyah sehingga terkadang pada masalah tertentu tidak dapat membedakan antara perkara yang satu dengan perkara yang lain apabila hanya diperhatikan secara sepintas lalu. Sebagai contoh antara bid’ah dan mashlahah mursalah yang merupakan bahan bahasan pemakalah pada kesempatan ini.

A. Pengertian Bid’ah

Pengertian bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu yang baru yang belum pernah ada contoh sebelumnya.[2]

                                                                                                         البدعة : ما اخترع على غير مثال سابق
Seperti firman Allah SWT. ;

                                                                                                                        بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ

                                                                                              Yang menciptakan langit dan bumi[3]

Maksudnya : Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan rupa dan bnetuk tanpa ada contoh sebelumya, dan dalam keadaan yang sebaik-baiknya dan seindah-indahnya.[4]

Apabila dikatakan orang :

                                                                                                                                    إِبْتَدَعَ فُلاَنٌ بِدْعَة
“Si Fulan telah berbuat bid’ah”

Artinya: Si Fulan telah memulai mengadakan (membuat) suatu cara yang belum pernah didahului oleh orang lain atau belum pernah ada orang yang mendahuluinya.

Dan seperti kata sahabat ‘Umar bin al-Khaththab r.a.:

                                                                                                                                   نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ

“Sebagus-bagus bid’ah ialah ini”

yakni : shalat tarawih pada tiap-tiap malam dalam bulan Ramadhan dengan jama’ah, dikerjakan bersama-sama dengan seorang imam.

Perkataan atau perbuatan mengadakan bid’ah dalam bahasa Arab dikatakan “Ibtida’” (إبتداع), barang yang diadakan (dbuat) demkian juga rupa dan kelakuannya dikatakan “Bid’ah” (بدعة) dan orang yang mengadakan perbuatan bid’ah diktakan “Mubtadi’” (مبتدع).[5]

Adapun pengertian bid’ah menurut Syari’at jalan baru dalam agama yang diserupakan dengan syariat dengan tujuan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah SWT.

البدعة هي عبادة عن طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه 6].

Sebagai contoh dari perbuatan bid’ah antara lain :
  1. Shalat nishfu Sya’ban , yaitu shalat seratus rakaat pada malam tanggal 15 bulan Sya’ban, dengan cara-cara tertentu.
  2. Shalat sehabis shalat shubuh dan shalat sehabis shalat ashar.
  3. Mengerjakan adzan dan iqamat shalat hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha)[7]
B. Pengertian Mashlahah Mursalah

Secara etimologi, mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi makna maupun lafal. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Apabila dikatakan bahwa perdagangan iutu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menunutut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan bathin.[8]

Secara terminologi, Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.”[9]

Adapun maksud dan tujuan syara’ ada lima perkara :
  1. Memelihara agama mereka; 
  2. Memelihara jiwa mereka; 
  3. Memelihara akal-fikiran mereka; 
  4. Memelihara keturunan mereka,
  5. Memelihara harta benda mereka.
Oleh sebab itu, maka segala yang mengandung tujuan lima perkara ini , dapatlah dikatakan “mashlahat”, dan jika tidak mengandung lima perkara ini, maka tidaklah dapat dikatakan “mashlahat”. Dengan pengerian ini, maka kata “mashlahat mursalah” itu dapat juga diartikan untuk memudahkan kata dengan arti : “kemaslahatan umum”, kebaikan untuk bersama, dengan tujuan “memelihara maksud syara’ (agama)”.[10]

PERBEDAAN ANTARA MASHLAHAH MURSALAH DAN BID’AH

Sebagian ulama ( yang kurang pengertian tentang ushul fiqh) ada yang samar-samar pengertiannya tentang yang dinamakan mashlahah mursalah dan yang dinamakan bid’ah. sebabnya timbul kesamaran itu, karena “mashlahah mursalah” itu, tidak ada persesuaian yang di tunjukkan oleh dalil yang tertentu tidak ada syahid dari syara’ untuk menentukan. Dengan demikian, maka timbullah kesamaran, lalu orang menyamakan saja antara yang dinamakan bid’ah dan yang dinamakan marsalah mursalah.

Orang memandang, bahwa bid’ah dan marsalah mursalah itu mengalir dari satu sumber, karena kedua-duanya tidak ada dalil tertentu dari syara’. Perbuatan bid’ah adalah perbuatan yang tidak ada dalil dari syara’, sedang mashlahah mursalah itu demikian juga, tidak ada dalil tertentu dari syara’.

Agar tidak timbul fikiran samar-samar yang demikian, dan dapat membedakan antara yang dinamakan “mashlahah mursalah” dan yang dinamakan “bid’ah”, baiklah dibawah ini diurikan duduk persoalannya.[11]

Para ulama ahli ushul telah membagi segi keberadaan mashlahah menurut syara’ kedalam tiga bagian, yakni ;
  1. Mashlahah al-Mu’tabarah (المصلحة المعتبرة), yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadis Rasulullah saw. dipahami secara berlainan oleh para ulama’ fiqh, disebabkan perbedaan alat pemukul yang dipergunakan Rasulullah saw. ketika melaksanakan hukuman bagi orang yang meminum minuman keras. Ada hadits yang menunjukkan bahwa alat yang diergunakan Rasul saw. adalah sandal/alas kakinya sebanyak 40 kali (H.R. Ahmad ibn Hanbal dan al-Baihaqi) dan ada kalanya dengan pelepah pohon kurma juga sebanyak 40 kali (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu, ‘Umar ibn al-Khaththab, setelah bermuyawarah dengan para sahabat lain menjadikan hukuman dera bagi orang yang meminum minuman keras tersebut sebanyak 80 kali dera. ‘Umar ibn al-Khaththab mengqiaskan orang yang meminum minuman keras kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina. Logikanya adalah, seseorang yang meminum minuman keras apabia mabuk, bicaranya tidak bisa terkontrol dan diduga keras akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman bagi seseorang yang menuduh orang lain berbuat zina adalah 80 kali dera (Q.S. al- Nur,24: 4). Oleh karena adanya dugaan keras menuduh orang lain beruat zina akan muncul dari orang mabuk, maka Umar ibn Khaththab dan ‘Ali ibn Abi Thalib mengatakan bahwa hukuman bagi orang yang meminum minuman keras sama hukumannya dengan orang yang menuduh orang lain berbuat zina.
  2. Mashlahah al-Mulghah (المصلحة الملغاة), yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’. Misalnya, syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari di bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Al-Laits ibn Sa’ad (94-275 H/ahli fiqh Maliki di Spanyol), menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi seseorang (penguasa Spanyol) yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya di siang hari Ramadhan. Para ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadis Rasulullah saw. di atas, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus di terapkan secara berturut-turut. Apabila tidak dapat memerdekakan budak , baru dikenakan hukuman puasa berturut-turut. Oleh sebab itu para ulama ushul fiqh memandang mendahulukan hukuum puasa dua bulan berturut-turut dari memerdekakan hamba sahaya merupakan kemaslahatan yang betentangan dengan kehendak syara’; hukumnya batal. Kemaslahatan seperti ini, menurut kesepakatan para ulama, di sebut dengan Kemashlahatan al-Mulghah dan tidak bisa dijadikan landasan hukum.
  3. Mashlahah al-Mursalah (المصلحة المرسلة), yaitu kemashlahatan yang keberaadaannya tidak di dukung Syara’ dan tidak pula dibatalkan /titolak syara’ melalui dalil yang rinci.[12] Hanya dapat difahamkan dari jurusan maksud-maksud syara’ yang umum, lalu di pergunakan untuk mencapai maksud-maksud syara’ itu.
Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan Mashlahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah: 
Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemashlahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini, Allah berfirman: 

وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين

“Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”.[13]

Menurut jumhur ulama’, rasuliullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan ummat manusia. Selanjutnya ketentuan dalam ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan mashlahah terhadap hukum-hukum yang lain yang juga mengandung kemaslahatan adalah legal.

Kemashlahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan. 

Jumhur Ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan shahabat, seperti Umar Ibn Al-Khaththab tiidak memberi bagian kepada para muallaf (orang yang baru masuk islam), karena menurut Umar, kemashlahatan orang banyak menuntut untuk hal itu. Abu Bakar mengumputlkan al-Qur’an atas saran Umar ibn Khaththab , sebagai salah satu kemaslahatan untuk melestarikan al-Qur’an dan menuliskan al-Qur’an pada satu logat bahasa di zaman ‘Usman bin Affan demi memelihara tidak terjadinya perbedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.[14]

Berdasarkan uraian diatas maka kami dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa;
  1. Antara bid’ah dan mashlahah mursalah memiliki kesamaan yakni kedua-duanya tidak ada dalil tertentu dari syara’. 
  2. Bid’ah menurut syari’at jalan baru dalam agama yang diserupakan dengan syariat dengan tujuan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah swt. Sedangkan mashlahah mursalah adalah “kemaslahatan umum”, kebaikan untuk bersama, dengan tujuan “memelihara maksud syara’ (agama)”

KEPUSTAKAAN

Khalil, Munawar, Kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, Jakarta: PT. Bulan-Bintang, 1993. 

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1996.

Bin Baz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah, Waspada Terhadap Bid’ah, Jakarta: Yayasan al-Asofwa, 2001. 

Al-Faqihi, Ali bin Muhammad Nashir, Kriteria Bid’ah & dampak Negatifnya terhadap Umat, Jakarta: Al-Qowam, 2002.

[1] Al-Qur’an dan Terjemahannya surat Al-Maidah(5) : 3 

[2] Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi, “Kriteria bid’ah dan dampaknya terhadap umat”, ( Cet.1 ; Jakarta: Al-Qowam, 2002), h. 25 

[3] Al-Qur’an dan Terjemahannya surat al-Baqarah(2) : 117 

[4] Moenawar Chalil, “Kembali kepada al-Qur’an dan As-Sunnah”, ( Cet. 9; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), h.225 

[5] Ibid, h. 227 

[6] Op.Cit., h. 229 

[7] Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, “Waspada terhadap Bid’ah”, (Jakarta: Yayasan Al- Sofwa, 2001), h. 23 

[8] Nasrun Haroen, “Ushul Fiqh 1” , (Cet. 1; Jakarta: Logos, 1996), h. 114 

[9] Ibid., h. 114 

[10] Op. cit., h. 257 

[11] Ibid., h. 259 

[12] Op. Cit., h. 119 

[13] Al-Qur’an dan terjemahannya Surat al-Anbiya’, 21: 107 

[14] Op. Cit., h. 124
HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html