Wednesday 11 May 2016

Demokrasi Terpimpin 1959-1965

http://komunitaskretek.or.id/
























Oleh : Ruhiyat Kawset

Terbentuknya Demokrasi Terpimpin di Indonesia diawali pada tahun 1959 oleh Presiden Soekarno sebagai pemegang kekuasaan penuh pemerintahan karena pada masa Demokrasi parlemen perpolitikan dalam negeri mengalami krisis politik dan kekacauan di berbagai bidang. Awal demokrasi Terpimpin dimulai dengan adanya surat mandat Dekrit Presiden Juli 1959 akibat belum tersusunnya Undang-Undang Dasar Negara dan banyaknya kepentingan-kepentingan politik antar partai. Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin menambah kekacauan bahkan menjurus menuju gerakan Separatisme yang memperparah keadaan politik pada masa parlement. Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat, dan keadaan semakin sulit untuk menemukan solusi mempersatukan perbedaan antar partai. Masing- masing partai politik selalu berusaha untuk menggunakan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Konflik antar partai politik inilah yang mengganggu stabilitas nasional sehingga menyebabkan keterpurukan politik dalam negeri pada masa Demokrasi parlemen.

Soekarno sebagai presiden Indonesia yang pertama pada masa Demokrasi Terpimpin berusaha untuk memperbaiki keadaan dan perpolitikan secara nasional melalui Dekrit Presiden . Setiap pidato Soekarno mampu membakar semangat perjuangan kepada rakyat untuk selalu bersatu membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju. Langkah Berikutnya yang dilakukan oleh presiden Soekarno untuk membangun Indonesia pada tahun 1960-an adalah menggunakan konsep “revolusi belum selesai”. Konsep tersebut merupakan konsep yang digunakan Soekarno untuk menolak ideologi barat yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia setelah berdirinya suatu Negara (Indonesia).[1]

Pada masa Demokrasi Presidensial terdapat empat kekuatan partai yang mengisi parlemen yaitu NU, Masyumi,PNI dan PKI. Namun pada kenyataannya Soekarno lebih memilih partai Komunis Indonesia (PKI) dikarenakan politik poros Soekarno yang lebih cenderung ke negara Sosialis hal tersebut dibuktikan dengan poros Jakarta-Peking, Jakarta-Hanoi. Hal tersebut melanggar Undang- Undang Dasar Indonesia yang berpolitik secara bebas aktif. 

Pada masa Demokrasi Terpimpin, presiden Soekarno telah memberikan tempat bagi PKI dalam sistem perpolitikan nasional karena menurut Soekarno, PKI telah terbukti mempunyai basis masa terbesar di Indonesia daripada partai-partai lain, atas posisi teresut Soekarno yang melaksanakan konsepsi NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) sebagai landasan Demokrasi Terpimpin dan kolektivitas berbagai partai menjadi satu. Konsep revolusi yaitu revolusi nasional 17 Agustus 1945, revolusi sosial dan revolusi komunis menghasilkan jargon “Revolusi Belum Selesai” sangat relevan yang terus menguat, sehingga mempermudah Soekarno menjalankan sistem Demokrasi Terpimpin untuk meraih dominasi politik.[2] Dalam konteks Demokrasi Terpimpin hubungan Soekarno selaku Presiden menjadi dekat dengan PKI.

Di sisi lain, Partai Komunis Indonesia (PKI) memanfaatkan kedekatannya dengan Presiden Soekarno memberikan konsistensi dan dukungan sepenuhnya atas segala kebijakan yang dilakukan oleh Soekarno. Selanjutnya PKI mengindoktrinisasi pandangan idealis terhadap Soekrno untukmenggerakkan rakyat Indonesia melalui jargon yang disampaikan Soekarno. 

Dalam menyampaikan kebijakan politiknya, Presiden Soekarno menggunakan jargon-jargon politik agar mudah dipahami dan mudah diingat oleh rakyat. Pada masa Demokrasi Terpimpin penggunaan jargon dianggap sebagai penggerak massa yang mampu melecutkan semangat perjuangan rakyat membangun bangsa Indonesia. Jargon dalam penerapannya sebagai proses mobilisasi massa yang efektif untuk mendukung kampanye- kampanye patriotik yang selalu digemakan secara revolusioner. Penggunaan jargon politik memiliki daya pikat tersendiri bagi rakyat karena pada masa itu Soekarno mampu mengkristalisasikan dan mengekspresikan perasaan-perasaaan yang selaras rakyat Indonesia.

A. Kondisi Politik Demokrasi Terpimpin 1959-1965

Indonesia Tahun 1956 Konstituante tidak berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar baru. Keadaan itu semakin mengguncangkan situasi politik di Indonesia. Bahkan, masing-masing partai politik mementingkan kepentingan partai demi tujuan partainya tercapai. Oleh sebab itu, sejak tahun 1956 kondisi dan situasi politik Negara Indonesia semakin buruk dan kacau.

Keadaan yang semakin bertambah kacau itu sangat membahayakan dan mengancam keutuhan negara dan bangsa Indonesia karena selain Konstituante gagal menetapkan UUD yang baru juga timbulnya berbagai pemberontakan di Indonesia yaittu: DI/TII di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan, Permesta di Sulawesi Utara, PRRI di Sumatera dan RMS di Maluku. banyak Suasana semakin bertambah panas karena adanya ketegangan yang diikuti dengan sikap dari setiap partai politik yang berada di Konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante namun konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.

Kegagalan Konstituante untuk melaksanakan sidang-sidangnya untuk membuat undang-undang dasar baru. Undang- Undang Dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat, sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik diantaranya Soewirjo ketua umum PNI mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Waktu itu pemberlakuan kembali Undang-undang Dasar 1945 dianggap sebagai langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut: (1) Pembubaran Konstituante. (2) berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950, (3) Pembentukkan MPRS

Revolusi politik di Indonesia pada masa itu bukan mendirikan kekuatan segolongan atasan saja juga tidak mendirikan kekuasaan diktatorial kaum proletar, tapi harus mendirikan kekuasaan gotong-royong, kekuasaan menerapkan demokrasi yang menjamin terkonsentrasinya seluruh kekuatan nasional, seluruh kekuatan rakyat.[3]

Indonesia dalam fase perpolitikan Demokrasi Terpimpin telah menyederhanakan struktur politik dengan memusatkan kekuatan di dua lembaga antara Soekarno dan Angkatan Darat sedangkan PKI sebagai partai politik dengan basis massa yang besar menjadi kekuatan ketiga. Sistem Demokrasi Terpimpin ini kemudian dikemas dalam tiga kekuatan besar yakni Soekarno, Angkatan Darat dan Komunis.[4]

Demokrasi Terpimpin mendapat tentangan banyak kalangan, seperti Deliar Noer mengatakan bahwa demokrasi Terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai ayah dalam keluarga besar bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya.[5] Karena menganggap dirinya sebagai ayah dalam konteks bernegara, sehingga Soekarno memiliki kebijakan sendiri sebagai orang yang tidak akan berpihak pada siapapun. Sikap demikian diterapkannya dalam berpolitik tanpa partai, dengan tujuan independensi tanpa adanya unsur-unsur mendiktenya.

Perinsip ini kemudian membuat Soekarno banyak ditentang oleh banyak lawan-lawan politiknya, entah lupa atau tidak sadar, jelasnya dengan menerapkan politik tanpa partai mengakibatkan dirinya masuk dalam lingkaran pencidera demokrasi. Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa kesepakatan dari konstituante ditegaskan oleh Hatta bahwa anjuran untuk bergabung dengan partai politik bagi penghuni konstitusi negara (3 November 1946). Kritikan Hatta mendapat dukungan dari M. Natsir dan Ki Hadjar Dewantara – pemimpin Taman Siswa – secara pedas menyatakan demokrasi Terpimpin tidak ada bedanya dengan “liederschap” (kepemimpinan). Hatta pada tahun 1961 menulis dalam bentuk brosur dengan judul, “Demokrasi Kita” isinya menentang ketetapan Presiden Soekarno tentang demokrasi Terpimpin, di dalamnya sangat banyak bertentangan dengan asas-asas kesepakatan berdemokrasi.[6]

Di antara hal-hal yang dianggap janggal dalam periode demokrasi Terpimpin adalah:[7]
  1. Tentang ketetapan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, padahal undang-undang sebelumnya sangat jelas, jika periode Presiden menjabat lima tahun.
  2. Tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai Presiden telah membubarkan DPR hasil pemilu 1955, padahal dalam UUD 1945 ditentukan bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian. 
  3. Presiden boleh ikut campur dalam pengambilan produk ketetapan legislatif, sesuai peraturan Presiden No. 14/1960. Presiden juga diperbolehkan ikut campur dalam pengambilan produk ketetapan yudikatif, sesuai UU No. 19/1964. Selain itu terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh Komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial.[8]

Pers dan lembaga publik banyak dibredel, saluran-saluran aspirasi rakyat diawasi sangat luar biasa ketat, sehingga teks dan naskah pidato harus disortir sebelum dibacakan di depan umum.

Kemudian juga digencarkan indoktrinasi Manipol-Usdek (Manifesto Politik, UUD 45, Sosialisme indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin) jargon politik Soekarno sebagaimana agar rakyat Indonesia agar tidak terbius oleh retorika politik.[9] Rakyat yakin benar bahwa Sekarno adalah figur yang sesuai dengan kriteria-kriteria pemimpin yang dibutuhkan.[10] Soekarno berhasil memikat massa dan membawa pengikutnya ke arah fokus utama kepribadiannya, selain itu Soekarno mampu mengguncang perasaan pendengarnya dengan daya meyakinkan yang sangat besar.

Arah politik luar negeri Indonesia juga terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas-aktif menjadi condong pada salah satu poros. Pada masa itu diberlakukan politik konfrontasi yang diarahkan pada negara-negara kapitalis, seperti negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik konfrontasi dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara- Negara kornunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme. Sedangkan Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim). 

Perwujudan poros anti imperialisme dan kolonialisme itu dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. Akibatnya ruang gerak diplomasi Indonesia di forum internasional menjadi sempit, karena berkiblat ke negera-negara komunis. Selain itu, pemerintah juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan pemerintah tidak setuju dengan pembentukkan negara federasi Malaysia yang dianggap proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok Nefo. Para pemimpin PKI, Aidit, Njoto, dan lain-lain yang menuliskan statemen politik mereka dalam slogan-slogan Demokrasi Terpimpin dan menegaskan sikap mendukung Manipol juga harus mendukung Nasakom dan Resopim. 

Keadaan sosial-politik massa Demokrasi Terpimpin yang lebih condong ke kiri akibat unsur-unsur PKI yang amat kental. Oleh karenanya yang menjadi obyek jargon- jargon perjuangannya adalah BTI (Barisan Tani Indonesia). BTN adalah organisasi massa petani yang terhubung ke Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan memberikan Blow up secara besar-besaran selain untuk menarik perhatian dan dukungan sosial-politik, juga menjadi propaganda misi perjuangan PKI. Kasus-kasus aksi sepihak di Jengkol, Kediri (1961), HMI- Utrect di Jember (1963), kasus Manikebu (1963-1964), kasus Kanigoro, Kras , Kediri (1965) dan masih banyak lagi. Indonesia yang akan dijadikan Negara Komunis lewat berbagai macam cara seperti Landreform telah menimbulkan gesekan dan benturan politik, social, budaya dan militer antara sepanjang tahun 1959 dan 1965. Landreform yang dimanfaatkan kaum komunis dengan srtategi tidak lepas dari doktrin partai komunis. Jalan revolusi dengan melenyapkan kelompok- kelompok masyarakat yang dianggap lawan. Untuk itu mereka ciptakan jargon „kawan‟ bagi teman seperjuangannya, dan „lawan‟, bagi yang dianggap sebagai musuh.

Di lain pihak PKI memanfaatkan betul kampanye perebutan kembali Irian Barat yang mencapai puncaknya pada 1961-1962 pada penekanan yang terkandung dalam konsep- konsep yang berfungsi menjustifikasi pada kampanye untuk membangkitkan antusiasme publik. Slogan yang digunakan Soekarno pada pidato 13 Desember 1961, menyerukan rakyat menggagalkan pembentukan negara merdeka Papua, bersiap mengibarkan bendera merah- putih di tanah Irian Barat dan menyiapkan diri bagi mobilisasi umum dengan Jargon Trikora. Dua bulan sebelumnya Palitbiro telah menerbitkan pernyataan yang tegas dan menuntut dengan tegas agar presiden segera memberi komando “Merebut Irian barat dengan Segala Cara”. Jalan Trikora (Tri Komando Rakyat). adalah istilah selanjutnya untuk menamai perintah terakhir Soekarno, singkatan dari Tri Komando rakyat untuk menggagalkan pembentukan negara boneka Papua.

B. Dampak Politik dan Sosial Demokrasi pada masa Terpimpin

a. Dampak Politik

Masa antara tahun 1959 hingga 1965 dalam sejarah politik Indonesia dikenal sebagai masa demokrasi terpimpin. Pada fase itu Soekarno bertahan di singgasana kekuasaan selama masih mampu mengendalikan kekuatan politik dalam negeri. Presiden Soekarno dan pimpinan Angkatan Darat di bawah Mayor Jenderal Nasution adalah faktor-faktor kekuasaan dalam pemerintahan. Soekarno tidak mempunyai organisasi politik yang menjadi sandarannya. Pengaruh Soekarno cukup besar terhadap tentara, Soekarno memerlukan dukungan dari golongan politik yang bermusuhan dengan tentara. PKI, dengan organisasinya yang rapi dan ideologinya yang anti tentara, yang kemudian menjadi tumpuan Soekarno karena itulah Soekarno terus berusaha melindungi PKI dari berbagai usaha Nasution dan perwira-perwira lainnya untuk mengurangi pengaruh partai itu.[11]

Pers pada masa Demokrai Terpimpin dijadikan alat politik oleh pemerintah dan keterlibatan media massa dengan kegiatan politik tidak semata-mata mencerminkan perhatian media terhadap politik melainkan menyiratkan pula adanya keterkaitan atas dasar satu kepentingan antara media massa dan kekuatan politik. Ideologi yang ditanamkam harus pancasila, keyakinan mental Indonesia dan persoalan pokok Indonesia yakni bersifat revolusi Indonesia, musuh-musuh revolusi Indonesia adalah siapapun yang berbeda di luar revolusi Indonesia. Dalam manifesto politik jelas dinyatakan bahwa pemerintah Indonesia melawan imperialisme Belanda sewaktu menjajah kasus Irian Barat, jika Belanda dalam soal Irian Barat tetap membandel, tetap Berkepala Batu maka semua modal Belanda akan habis riwayatnya sama sekali di bumi Indonesia.[12]

b. Dampak Sosial

Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapatkan sambutan dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan dekrit tersebut bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur- unsur penting Negara lainnya, seperti Mahkamah Agung dan KSAD.[13] Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959, diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama. Manipol- Usdek dan Nasakom: Struktur Konstitusi dan Ideologi Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin sebenarnya, terlepas dari pelaksanaannya yang dianggap otoriter, dapat dianggap sebagai suatu alat untuk mengatasi perpecahan yang muncul di dataran politik Indonesia dalam pertengahan tahun 1950-an.[14]

Untuk menggantikan pertentangan antara partai-partai di parlemen, suatu sistem yang lebih otoriter diciptakan dimana peran utama dimainkan oleh Presiden Soekarno. Soekarno memberlakukan kembali konstitusi presidensial tahun 1945 pada tahun 1959 dengan dukungan kuat dari angkatan darat. Akan tetapi Soekarno menyadari bahwa keterikatannya dengan tentara dapat membahayakan kedudukannya, sehingga ia mendorong kegiatan-kegiatan dari kelompok- kelompok sipil sebagai penyeimbang terhadap militer. Dari kelompok sipil ini yang paling utama adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan juga walau tidak begitu signifikan peranan dari golongan agama, yaitu khususnya yang diwakili oleh NU yang tergabung dalam poros nasakom Soekarno semasa pemberlakuan demokrasi terpimpin. Meskipun pemimpin PKI maupun Angkatan Darat mengaku setia kepada Presiden Soekarno, mereka sendiri masing- masing terkurung dalam pertentangan yang tak terdamaikan.

Soekarno berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling bersaing dari Demokrasi Terpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan kesadaran akan tujuan-tujuan nasional. Soekarno menciptakan suatu ideologi nasional yang mengharapkan seluruh warga negara memberi dukungan kesetiaan kepada presiden. Pancasila ditekankan dan dilengkapi dengan serangkaian doktrin seperti Manipol-Usdek dan Nasakom. 

Dalam usahanya mendapatkan dukungan yang luas untuk kampanye melawan Belanda di Irian Barat dan Inggris di Malaysia, Soekarno menyatakan bahwa Indonesia berperan sebagai salah satu pimpinan “kekuatan-kekuatan yang sedang tumbuh” di dunia, yang bertujuan untuk menghilangkan pengaruh Nekolim (neokolonialis, kolonialis dan imperialis). 

Sebagai lambang dari bangsa, Soekarno bermaksud menciptakan suatu kesadaran akan tujuan nasional yang akan mengatasi persaingan politik yang mengancam kelangsungan hidup sistem Demokrasi Terpimpin. Sampai dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pada bulan Juli 1959, Presiden Soekarno adalah pemegang inisiatif politik, terutama dengan tindakan dan janji-janjinya yang langsung ditujukan kepada pembentukan kembali struktur konstitusional. 

Akan tetapi, tekananannya kemudian mulai bergeser kepada tindakan simbolis dan ritual, serta khususnya kepada perumusan ideologi dan kemudian memberikan gagasan-gagasan berulang kali. Presiden Soekarno dalam hal ini menciptakan doktrin negara yang baru.[15]
  1. Indonesia dalam fase perpolitikan Demokrasi Terpimpin telah menyederhanakan struktur politik dengan memusatkan kekuatan di dua lembaga antara Soekarno dan Angkatan Darat sedangkan PKI sebagai partai politik dengan basis massa yang besar menjadi kekuatan ketiga. Sistem Demokrasi Terpimpin ini kemudian dikemas dalam tiga kekuatan besar yakni Soekarno, Angkatan Darat dan Komunis. Kemudian juga digencarkan indoktrinasi Manipol-Usdek (Manifesto Politik, UUD 45, Sosialisme indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin) jargon politik Soekarno sebagaimana agar rakyat Indonesia agar tidak terbius oleh retorika politik. Rakyat yakin benar bahwa Sekarno adalah figur yang sesuai dengan kriteria-kriteria pemimpin yang dibutuhkan.
  2.  Dalam bidang politik Pers pada masa Demokrai Terpimpin dijadikan alat politik oleh pemerintah dan keterlibatan media massa dengan kegiatan politik tidak semata-mata mencerminkan perhatian media terhadap politik melainkan menyiratkan pula adanya keterkaitan atas dasar satu kepentingan antara media massa dan kekuatan politik. Ideologi yang ditanamkam harus pancasila, keyakinan mental Indonesia dan persoalan pokok Indonesia yakni bersifat revolusi Indonesia, musuh-musuh revolusi Indonesia adalah siapapun yang berbeda di luar revolusi Indonesia. Sementara dalam bidang sosial Soekarno menciptakan suatu ideologi nasional yang mengharapkan seluruh warga negara memberi dukungan kesetiaan kepada presiden. Pancasila ditekankan dan dilengkapi dengan serangkaian doktrin seperti Manipol-Usdek dan Nasakom.
Dari uraian dan dekripsi di atas sangat jelas, bahwa demokrasi dan eksistensi kepemimpinan politik di Indonesia saat ini masih jauh dari kata ideal. Tambal sulam sistem politik masih harus dilakukan untuk menempatkan ide-ide demokrasi dalam kehidupan dan melahirkan kepemimpinan politik yang pro rakyat, sehingga tujuan didirikannya Indonesia bisa terealisasikan sebagai bangsa yang berdaulat secara sandang, pangan, papan, dan politik.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin Kasdi, , Kau Merah Menjarah (Aksi sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965) Surabaya :YKCB-CICS. 2009.

Crouch, Herbert, Militer & Politik di Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1999.

Feith, Herbert, The Decline of The Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca, London Cornell University Press. 1962.

______Soekarno-Militer Dalam Demokrasi Terpimpin, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1995

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985.

H.Roslan.Abdulgani, Penjelasan Manipol-Usdek, Bahan-bahan Indoktrinasi. Djember: Penerbit Sumber Ilmu, 1961.

Kartodirjo; Sartono, dan Marwati Djoned Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. VI. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1975.

MC.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jogjakarta,1991.

Moeljanto, D.S dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya (kilas baliko fensif Lekra/PKI DKK), Bandung: Mizan, 1995

Noer Deliar, Perkembangan Demokrasi Kita, dalam M. Amin Rais, Demokorasi dan Proses Politik. Jakarta: LP3ES, 1986.

Onghokham, Manusia dalam Kemelut Sejarah, Jakarta: LP3S, 1978.

Rex, Mortimer, Indonesian Communism Under Soekarno (Idiologi dan Politik 1959-1965), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Rosyada, Dede., dkk. Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani. Abdul Rozak, dkk., ed. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Kerjasama The Asia Foundation & PERNADA MEDIA, 2003.

Soekarno, Membangun Dunia Kembali (MDK), Kempen, 1960.

[1]Aminuddin, Kasdi, 2009, Kau Merah Menjarah (Aksi sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965, Surabaya :YKCB-CICS. 

[2]Rex, Mortimer, Indonesian Communism Under Soekarno (Idiologi dan Politik 1959-1965), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, h.59 

[3]H.Roslan. Abdulgani,, Penjelasan Manipol-Usdek, Bahan-bahan Indoktrinasi. A.Reachim. (Jember: Penerbit Sumber Ilmu, 1961), h. 149 

[4]H.Roslan. Abdulgani,, Penjelasan Manipol-Usdek, Bahan-bahan Indoktrinasi. A.Reachim. h. 149 

[5]Demikian kekeliruan sangat besar dalam demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai penting dalam demokrasi, yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin, sehingga tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif. Lihat Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Kerjasama The Asia Foundation & PERNADA MEDIA, 2003), h. 131 

[6]Deliar Noer , Perkembangan Demokrasi Kita, dalam M. Amin Rais, Demokorasi dan Proses Politik, h. 82 

[7]Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, h. 131 

[8]Deliar Noer, Perkembangan Demokrasi Kita, dalam M. Amin Rais, Demokorasi dan Proses Politik, h. 82 

[9]H.Roslan.Abdulgani,, Penjelasan Manipol-Usdek, Bahan-bahan Indoktrinasi. A.Reachim. h. 149 

[10]Onghokham, Manusia dalam Kemelut Sejarah. (Jakarta: LP3S, 1978), h. 21 

[11]Feith, Herbert, 1962, The Decline of The Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca, (London: Cornell University Press, 1962), h. 78. 

[12]Feith, Herbert, 1962, The Decline of The Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca, h. 79 

[13]Poesponegoro, Marwati Djoened dkk., Sejarah Nasional Indonesia jilid VI, (Jakarta: Depdikbud- Balai Pustaka, 1993), h. 311 

[14]Crouch, Herbert, Militer & Politik di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1999), h. 44 

[15]Feith, Herbert, Soekarno-Militer Dalam Demokrasi Terpimpin, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 79

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html