Tuesday 10 May 2016

Islam Pada Masa Penjajahan Jepang Di Indonesia

i.ytimg.com

Oleh : Nur Husnaini Thamrin

Membaca Islam Indonesia, tak lepas dari bicara tentang sejarah Indonesia yang pernah dijajah oleh Jepang. Mengacu pada sejarah umat Islam Indonesia, yang mana pernah menghadapi masa kelam sejak zaman penjajahan Belanda. Perjumpaan umat Islam dengan tradisi pencerahan dan kemodernan Eropa yang dibawa oleh penjajah, dimulai sejak zaman renaisans. Negara-negara Eropa mulai melakukan kolonialisasi dan invasi ke negara-negara di luar Eropa termasuk Indonesia. Negara-negara Eropa tidak hanya berkepentingan dengan sumber daya alam, penaklukan tanah dan teritorial di daerah jajahannya, namun juga menyebarkan dan melakukan penaklukan pikiran dan budaya. Dalam proses inilah mereka menyebarkan paham rasional, modern dan liberal.

Tahun 1942 Jepang menjadi kekuatan dominan di Asia Tenggara, dengan cepat menguasai beberapa wilayah Indonesia sebagai wilayah strategis, disamping memiliki sumberdaya alam dan populasi yang dianggap dapat menjadi sumber kekuatan bersama, untuk perang Asia Timur Raya. Jepang menyadari bahwa Indonesia menganut Islam, pada mulanya hal ini tidak menjadi masalah, terbukti dengan kerjasama Jepang dengan umat Islam pada awal-awal masuk ke Indonesia. Jepang membentuk PETA (Pembela Tanah Air) satu lembaga yang terdiri dari orang-orang Indonesia. Dalam organisasi ini orang-orang Indonesia dididik dan dilatih memegang senjata, didirikan Kantor Urusan Agama(Shumubu), dibentuk Majlis Syuro Muslimin Indonesia, dan Hizbullah. Meski selanjutnya Jepang harus mempertimbangkan mana dari umat Islam yang dapat memenuhi kepentingan kolonialnya di Indonesia.

Masuknya Jepang ke Indonesia membawa perubahan yang lebih luas bagi rakyat Indonesia, terutama dalam pendidikan, yang pada masa kolonial Belanda bersifat diskriminatif, kini terbuka bagi setiap orang, semua mendapat kesempatan yang sama, jalur-jalur sekolah dan pendidikan menurut penggolongan keturunan, bangsa, strata atau pun status sosial dihapuskan.[1]
http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/

A. Jepang Masuk Ke Indonesia

Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945, seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia. Jepang masuk ke Indonesia, menduduki Tarakan, Kalimantan Timur, kemudian memasuki daerah-daerah lain di Indonesia dan dalam tempo yang sangat singkat telah menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda.[2]

Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki Nazi Jerman. Hindia belanda mengumumkan keadaan siaga dan pada Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan Inggris. Negoisasi dengan Jepang Juni 1941, yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal, dan Jepang memulai penaklukannya ke Asia Tenggara pada Desember tahun itu juga. Pada bulan yang sama, faksi dari Sumatera menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda.

Pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Starkenborgh Stachouwer bersama Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi Tentara Hindia Belanda datang ke Kalijati dan dimulai perundingan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan pihak Tentara Jepang yang dipimpin langsung oleh Letnan Jenderal Imamura. Imamura menyatakan, bahwa Belanda harus menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat. Letnan Jenderal ter Poorten, mewakili Gubernur Jenderal menanda-tangani pernyataan menyerah tanpa syarat. Dengan demikian secara de facto dan de jure, seluruh wilayah bekas Hindia Belanda sejak itu berada di bawah kekuasaan dan administrasi Jepang. Hari itu juga, tanggal 9 Maret Jenderal Hein ter Poorten memerintahkan kepada seluruh tentara Hindia Belanda untuk menyerahkan diri kepada balatentara Kekaisaran Jepang.[3]

B. Respon Umat Islam Pada Pendudukan Jepang

Salah satu program yang memperolah empati dari pihak pribumi pada awal penjajahan Jepang adalah di bidang pendidikan di mana dalam hal ini para pelajar Indonesia diberi kesempatan untuk mendapatkan beasiswa belajar di Jepang dengan alasan untuk kemajuan rakyat pribumi. Terkhusus untuk umat Islam, sebagai basis pergerakan yang massif dan sangat diperhitungkan, Jepang berusaha menarik perhatian dengan cara mengirim umat Islam untuk berhaji ke Mekah, di ibu kota Jepang didirikan masjid dan yang paling menarik adalah diadakannya konferensi umat Islam di Tokyo.[4]

Namun bangsa Indonesia menyadari bahwa Jepang mempunyai tujuan sangat buruk yaitu ingin menipponkan bangsa Indonesia, dan menggantikan Islam denganSintoisme.[5] Walaupun umat Islam Indonesia telah dilatih dengan kemusyrikan sepertiberseikeirei, tetapi perlawanan dari umat Islam tetap berjalan baik secara keras maupun lunak. Di lain pihak, Jepang juga menyadari bahwa muslim Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah diarahkan.

Sikap umat Islam terbagi menjadi dua, yaitu, sikap keras dengan perang yang diperlihatkan oleh ulama-ulama secara individual dan sikap lunak yang diperlihatkan oleh pemimpin-pemimpin muslim melalui organisasi-organisasi. Cara keras yang diperlihatkan oleh ulama-ulama secara individual menimbulkan pemberontakan lokal, seperti yang dilakukan Tengku Abdul Jalil di Aceh. Ia mengatakan bahwa Jepang lebih buruk dari pada Belanda. Perangpun terjadi pada bulan Agustus 1942. Jepang mula-mula ingin menyelesaikan dengan damai, dengan mengirim utusan tetapi tidak berhasil, sehingga Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang melaksanakan salat Subuh. Dengan persenjataan seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil memukul mundur pasukan Jepang. Begitu juga dengan serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir (ketiga) Jepang berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh, namun akhirnya tertembak saat sedang salat.[6]
http://peristiwa-id.com/
Kemudian muncul pemberontakan pemuda muslim Muhammadiyah di Pontianak, 8 Desember 1943, dan juga di Jawa, yang dipimpin oleh K.H. Zaenal Mustafa, pemimpin pesantren Sukamanah Singaparna Tasikmalaya, pemberontakan meletus bulan Februari 1944. Dari pemberontakan-pemberontakan itu, dapat disimpulkan bahwa motif pemberontakan pada hakikatnya selain motif kekejaman dan kebrutalan Jepang, tetapi yang paling utama adalah motif membela agama.

Selanjutnya sikap para pemimpin muslim dan para ulama yang sudah diarahkan oleh Jepang untuk membentuk organisasi buatan Jepang dengan maksud dapat menjadi alat pencapaian tujuannya, ternyata telah bertolak belakang dengan harapan Jepang. Organisasi-organisasi yang dibuat Jepang dimanfaatkan oleh kaum muslimin untuk memperkuat persatuan muslimin Indonesia, dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan dan menyebarkan agama Islam, yang sekaligus untuk menghilangkan pengaruh Shintoyang telah disebarkan Jepang.[7]

Ira M. Lapidus menjelaskan, beberapa fungsi administratif dan kemiliteran yang diberikan kepada golongan Islam turut memperkuat kekuatan politik dan memperluas massa untuk aksi muslim selanjutnya.[8] Dalam hal ini tiga hal yang dapat disebutkan: dibentuknya Kantor Urusan Agama Islam (Shumubu), didirikanya Masyumi dan pembentukan Hizbullah.

Sejak tanggal 1 April 1944, dimulai pembentukan Kantor Urusan Agama Daerah di setiap keresidenan (yaitu bagian dari suatu provinsi). Di bawah kepemimpinan para tokoh seperti Wahid Hasyim dan Kahar Muzakkir.[9] MIAI sebagai organisasi independen yang didukung oleh NU dan Muhammadiyah, yang pada tanggal 24 Oktober 1943 dibubarkan oleh Jepang.[10] Pembubaran ini pada dasarnya reaksi Jepang terhadap agitasi bait al-mal yang terus menerus dan secara gencar dalam mengorganisir pengumpulan dana, pembagian zakat dan shadaqah oleh pengurus MIAI tanpa melibatkanShumubu (Kantor urusan agama yang dibentuk Jepang).[11]

Sebagai pengganti MIAI, Jepang membentuk organisasi baru yaitu Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) tanggal 22 November 1943 dan diberi status hukum pada tanggal 1 Desember 1943. Sebagai ketua organisasi ini adalah K.H. Hasyim Asy’ari. Masyumi semakin kokoh ketika tanggal 1 Agustus 1944, pemerintah Jepang mengeluarkan pengumuman reorganisasi Shumubu yang bertujuan agar semua masalah keagamaan yang dirasakan penting dapat diatur dengan mudah. Konsekuensi reorganisasi ini, Husein Djajadiningrat, kepala Shumubu mengundurkan diri, lalu diganti oleh K.H. Hasyim Asy’ari dari Masyumi. Dengan demikian, kegiatan keagamaan ke Islaman di bawah kontrol elit muslim.[12]

Tujuan Jepang membubarkan MIAI dan mendirikan Masyumi satu golongan nasionalis guna merangkul rakyat Indonesia, khususnya pemimpin Islam.[13] Pada zaman Jepang, akhir tahun 1944, juga dibentuklah Hizbullah, yaitu sejenis organisasi militer bagi pemuda-pemuda muslim Indonesia. K.H. Zainul Arifin dipercaya menjadi ketua panglima Hizbullah, dengan tugas utamanya mengkoordinasi pelatihan-pelatihan semi meliter. K.H. Zainul Arifin adalah salah satu utusan dari Nahdatul Ulama dalam kepengurusan Masyumi. Di antara pemimpinnya terdapat Muhammad Roem, Anwar Tjokro Aminoto, Jusuf Wibisono, dan Prawoto Mangkusaswito yang kemudian terkenal menjadi politikus-politikus terkenal. Jadi seluruh masa pendudukan Jepang ini, ternyata umat Islam telah memperoleh keuntungan-keuntungan besar.[14]

Jepang pada akhirnya menjanjikan kemerdekaan Indonesia dengan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Hingga akhirnya ketika tokoh nasional Indonesia mendengar berita bahwa Jepang kalah dalam perang Pasifik, ditandai dengan meledaknya bom atom di Hirosima dan Nagasaki, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.[15]
http://www.arkib.gov.my/

C. Mobilisasi Politik Jepang

Masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun merupakan salah satu periode yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia. Sebelum serbuan Jepang tidak ada satupun tantangan yang serius terhadap kekuasaan Belanda di Indonesia.[16] Pada 9 Maret 1942, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Belanda, Jenderal Ter Poorten, bersama Gubernur Jenderal Pemerintah kolonial Belanda, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, akhirnya menyerahkan Indonesia tanpa sarat kepada Jepang, masa pendudukan Jepang pun dimulai.[17]

Menurut Benda, terdapat tiga perbedaan kebijakan antara Belanda dan Jepang terhadap Islam pada khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya, yaitu:[18]
  1. Pertama, pada masa penjajahan Belanda, yang menjadi sandaran politik kolonial adalah kaum priyayi, sedangkan pada masa pendudukan Jepang adalah golongan Islam dan nasionalis sekuler.
  2. Kedua, pada masa penjajahan Belanda, pemimpin nasionalis sekuler mengalami penindasan, seperti diasingkan, sedangkan pada masa Jepang pemimpin nasionalis sekuler diakui secara resmi dan diangkat menjadi pejabat dalam pemerintahan militer Jepang
  3. ketiga, pemerintah Hindia Belanda tidak pernah memberi angin segar kepada golongan Islam, sedangkan pemerintah pendudukan Jepang justru sebaliknya. Pemerintah Jepang meningkatkan posisi Islam baik dalam bidang sosial-religius maupun dalam bidang politik.

Terlepas dari segala kekejaman yang dirasakan sebagai akibat langsung dari situasi perang, strategi politik Jepang bukanlah terletak pada politik penindasan fisik. Strategi dasar Jepang dengan cara memobilitasi rakyat, demi tercapainya kemenangan Asia Timur Raya.[19] Jepang memahami Indonesia dengan mayoritas umat Islam. Oleh karena itu, diletakkan dasar kebijakan dalam membina teritorialnya, dikenal dengan kebijakan menurut Harry J. Benda disebut Nippon’s Islamic Grass Root Policyyaitu Kebijakan Politik Jepang atas umat Islam untuk mengekploitasi tokoh-tokoh muslim dan ulama hingga ke tingkat desa.[20]

Dalam bingkai politik dan militer inilah, Jepang membiarkan MIAI terus hidup untuk sementara, karena sangat memerlukan sokongan umat Islam. Suatu kebijaksanaan yang dapat dipahami, karena Jepang cukup maklum bahwa umat Islam sangat benci berada dalam kekuasaan Belanda.[21] Sebelumnya, Jepang banyak melakukan aktivitas internasional untuk menarik simpati bangsa-bangsa yang beragama Islam dan meniupkan slogan anti Barat, seperti menyelenggarakan pertemuan organisasi-organisasi Islam di Tokyo pada bulan September 1939, dengan mengundang orang-orang Islam luar negeri untuk menghadiri pameran Islam di Tokyo dan Osaka pada tanggal 5-29 Nopember tahun itu juga.[22]

Kedatangan Jepang langsung dirasakan oleh umat Islam, hal ini di tengarai dengan beroperasinya Shumubu (Kantor Urusan Agama) yang ketuai oleh kolonel Horie pada bulan Maret 1942, di ibu kota,[23] dan pada tahun 1944 dibuka cabang-cabangnya yang bernama Shumuka di seluruh Indonesia. Dengan dibentuknya kantor cabang ini diharapkan mampu mengadakan kontak yang lebih rapat dengan dengan pengurus pusat di Jakarta.[24] Shumubu berfungsi kurang lebih seperti Office for Native Affairs (Kantor Urusan Pribumi) pada masa Belanda, tetapi dalam perkembangannya Shumubumenangani urusan-urusan yang berkaitan dengan fungsi Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan, Pendidikan, dan Keagamaan Umum.[25]

Akan tetapi Shumubu tidak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan Jepang untuk memobilitas rakyat, karena umat Islam saat itu sukar untuk dipimpin oleh orang asing. Oleh karena itu, Kolonel Horei digantikan oleh Dr. Hoesein Djajaningrat, sebagai pakar agama Islam, namun tidak pernah memimpin organisasi sosial Islam, maka tidak mempunyai pengaruh juga pada umat Islam. Kemudian diadakan lagi reorganisasiShumubu dengan menggantikan ketua Shumubu oleh K.H. Hasyim Asy’ari. K.H. Hasyim Asy’ari, adalah seorang ulama dari pesantren Tebu Ireng.[26] Akibat baru saja keluar dari tahanan, karena menolak menjalankan saikerei (menghormati ke arah Tokyo), maka aktivitas harian diserahkan kepada wakilnya Wahid Hasyim. Pemerintah Jepang juga mengadakan pelatihan penghulu, urusan-urusan kenegaraan, dan lain sebagainya.[27]

Apabila melihat dengan cermat, kedua penguasa asing ini sama-sama mengeksploitasi Islam untuk kepentingan mereka masing-masing, tetapi ada perbedaan sikap antara dua penguasa asing ini. Belanda hanya menyisakan peluang yang sangat kecil bagi kegiatan politik Islam. Sebaliknya, pihak Jepang membuka pintu selebar-lebarnya kepada umat Islam untuk turut serta secara langsung dalam politik dan latihan militer, dua corak pengalaman yang mempunyai makna tersendiri bagi langkah umat Islam Indonesia selanjutnya.

Sebagaimana penjajah-penjajah lainnya, pertimbangan utama Jepang tetaplah politik. Pendekatan Jepang terhadap Islam hanyalah untuk kepentingan politik semata. Oleh karena kepentingan yang terbesar adalah politik, maka Jepang tidak segan-segan mengizinkan ulama untuk membentuk laskar seperti Hizbulla. Izin Jepang ini mempunyai tujuan agar Hizbullah dapat mendukung dalam perang melawan Sekutu. Kaum muslimin menduduki bagian penting dalam organ politik pemerintahan Jepang.[28]

Namun demikian, tindakan Jepang ini, terlepas dari motif di belakangnya, membawa pengaruh yang positif bagi umat Islam dalam bidang politik. Dalam diri umat Islam muncul rasa percaya diri karena bertambahnya peranan umat Islam dalam pemerintahan pendudukan Jepang. Selain itu, dengan dibentuknya laskar Hizbullah, umat Islam dapat menggunakan senjata-senjata modern, sesuatu yang sama sekali tidak mungkin mereka alami pada masa penjajahan Belanda.[29]

Pada masa Revolusi, laskar-laskar tersebut berperan aktif dalam perlawanan terhadap Belanda. Di antara semboyan keagamaan yang sangat populer pada waktu itu ialah “hidup mulia atau mati syahid”. Semboyan semacam ini semakin membakar semangat pemuda Islam untuk cepat-cepat meraih kemerdekaan yang sudah terlalu lama terlepas dari tangan.[30]

Setelah Letnan Jenderal Imamura, panglima pertama di Jawa, mengeluarkan dekrit pembekuan dan larangan setiap diskusi atau organisasi yang berhubungan dengan administrasi politik dan juga menghentikan partai-partai politik yang ada, termasuk partai sarikat Islam Indonesia (PSII). Maka Jepang mensponsori pembentukan wadah baru guna menyalurkan aktivitas mantan pimpinan parpol dan ormas, pada 29 April 1942, dibentuk organisasi Tiga-A (Nippon Pemimpin Asia, Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia). Organisasi ini dipimpin oleh Shimizu dan Samsuddin (Pemimpin muda partai Parindra).[31] Makna Nippon sebagai Pemimpin Asia, dengan bahasa lain, Saudara Tua dalam pengertian politik. Demikian pula makna Cahaya dan Pelindung, memberikan kesan bahwa Indonesia belum mampu mandiri sebagai bangsa merdeka tanpa petunjuk dan payung Jepang.

Gerakan Tiga A, dibubarkan kembali oleh Jepang pada tahun 1943 dikarenakan tidak mendapat simpati dari bangsa Indonesia dan dianggap sebagai organisasi yang sia-sia oleh Jepang. Pada tanggal 8 Maret 1943 Jepang mendirikan organisasi PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) untuk menggantikan Gerakan Tiga A. Organisasi ini dipimpin oleh empat serangkai yaitu Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, K.H. Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara. Dengan masuknya K.H. Mas Mansur dalam PUTERA, maka salah satu pemimpin Islam berhasil menduduki kepemimpinan organisasi nasionalis. Tujuan pembentukan organisasi ini adalah untuk memusatkan seluruh kekuatan rakyat agar mau membantu Jepang dalam mewujudkan Asia Timur Raya. Para pemimpin PUTERA diberi tugas untuk menghapus segala bentuk kebarat-baratan yang merupakan peninggalan Belanda.[32] Selain itu, para pemimpin PUTERA juga bertugas untuk menumbuhkan semangat persaudaraan antara Indonesia dan Jepang, sehingga bangsa Indonesia mau membantu Jepang dalam menghadapi sekutu. Hal positif dari pembentukan PUTERA bagi bangsa Indonesia adalah diwajibkannya pelajaran bahasa Jepang bagi seluruh bangsa Indonesia.[33]

Selain itu, Jepang juga mendorong dan memberi prioritas kepada kalangan Islam untuk mendirikan organisasi sendiri. Untuk pertama kali dalam sejarah modern, pemerintah di Indonesia secara resmi memberi tempat yang penting kepada kalangan Islam. Pemerintah Jepang secara berangsur-angsur mengakui organisasi-organisasi Islam, tetapi tidak membolehkan pendirian kembali organisasi-organisasi nasionalis sebelum perang, misalnya seperti Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada tanggal 10 September 1943 Muhammadiyah dan NU disahkan kembali, disusul dengan Perikatan Umat Islam (sebelumnya bernama Persyarikatan Ulama) di Majalengka pada tanggal 1 Februari 1944 dan Persatuan Umat Islam di Sukabumi.[34]

Menurut Deliar Noer ada beberapa faktor yang mendorong Jepang mensahkan kembali ormas-ormas Islam. Pertama, Jepang mengalami kemunduran kedudukan dalam Perang Pasifik. Hal itu menyebabkan Jepang memerlukan bantuan yang lebih besar dari rakyat, khususnya penduduk di daerah pedesaan. Oleh karena itu diperlukan suatu organisasi yang dipatuhi oleh penduduk. Kedua, Kenyataan bahwa organisasi-organisasi tersebut, walau tidak resmi, masih melanjutkan kegiatan mereka dengan pimpinan dan guru-guru setempat, bahkan masih sering menjaga koordinasi di antara sesama mereka. Hubungan tidak resmi tersebut mempersulit Jepang dalam melakukan pengawasan. Lewat pengesahan, maka pengawasan akan lebih mudah dilakukan. Ketiga, pengakuan Jepang terhadap fungsi PUTERA dan kemudian Himpunan Kebaktian Rakyat (Jawa Hokokai) yang tidak mampu memperoleh dukungan penuh dari kalangan Islam. Keempat, Jepang tampaknya ingin memperbaiki beberapa kesalahan yang telah diperbuatnya terhadap kalangan Islam, seperti mewajibkan pelaksanaan upacara Saikeirei (memberi hormat kepada Kaisar Jepang dengan membungkukkan badan ke arah Tokyo), menahan K.H. Hasyim Asya’ari selama empat bulan, dan menutup beberapa madrasah dan pesantren selama beberapa bulan pada awal pendudukan.[35]

Sayangnya, strategi Jepang membentuk PUTERA merupakan kesalahan besar bagi Jepang. Karena pembentukan PUTERA semakin menumbuhkan semangat kebangsaan dalam jiwa bangsa Indonesia dan mengobarkan semangat untuk memperoleh kemerdekaan. Karena dianggap bumerang dan merugikan pihak Jepang, maka Jepang pun membubarkan paksa organisasi tersebut pada tahun 1944. Kemudian Jepang membentuk wadah baru Jawa Hokokai (Organisasi Pelayanan Rakyat di Jawa) pada tahun 1944 oleh Panglima Tentara Jepang. Berbeda dengan dua organisasi sebelumnya yang dipimpin oleh bangsa Indonesia, Jawa Hokokai berada di bawah pengawasan langsung pejabat-pejabat militer Jepang.[36]

Upaya Jepang dalam pembuatan wadah organesasinya belum menemukan hasil yang maksimal , maka kemudian Jepang menghidupkan kembali MIAI. MIAI, Berbeda dengan Gerakan Tiga A, PUTERA, dan Jawa Hokokai, MIAI bukanlah organisasi yang dibentuk oleh Jepang. MIAI adalah organisasi Islam yang didirikan pada tanggal 18-21 September 1937 di Surabaya, yang diprakarsai oleh beberapa tokoh, di antaranya: Wondoamiseno (sekretaris), K.H. Mas Mansyur (bendahara), Abdul Wahab Hasbullah, Muhammad Dahlan (anggota), dan organisasi-organisasi Islam yang ada di Indonesia, seperti: Muhammaddiyah, PSII, Al-Irsyad dan lainnya.[37] MIAI didirakan bertujuan untuk menyatukan seluruh organisasi Islam dibawah satu bendera, mendorong kerjasama menyelesaikan permasalahan umat Islam, memperkuat hubungan dengan Islam diluar negeri, meningkatkan keimanan, dan membentuk kongres muslim Indonesia.[38]

Organisasi MIAI merupakan organisasi Islam yang dibiarkan berkembang oleh Jepang, karena Jepang menganggap bahwa MIAI sangat anti Barat. Bahkan, Jepang ikut mendorong berkembangnya organisasi tersebut dengan memberikan sumbangan dan mendirikan masjid-masjid di beberapa wilayah. Sayangnya, MIAI pun tidak bisa dimanfaatkan oleh Jepang, sehingga terpaksa dibubarkan pada bulan Oktober 1943, karena dinilai anti Jepang. Kemudian Jepang membentuk organisasi federative baru yaitu Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) dengan pendukung utamanya berasal dari Muhammaddiyah dan NU.[39]

Menurut Benda, terbentuknya Masyumi merupakan “kemenangan politik Jepang terhadap Islam.” Memang tidak dapat dibantah, Masyumi dibentuk untuk mendukung pemerintah pendudukan Jepang. Namun, beberapa pemimpinnya berusaha melencengkan tujuan tersebut, seperti diakui oleh K.H. Wahid Hasyim. (Namun disini tidak jelas apa yang dimaksudkan Fachri Ali dan Bakhtiar Efendi, dengan “Melencengkan Tujuan Tersebut”).[40]

Di bawah pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Mas Mansyur. Masyumi pun tidak tumbuh sesuai dengan keinginan Jepang, bahkan pada akhirnya organisasi tersebut tumbuh menjadi pusat kekuatan bagi seluruh umat Islam di Indonesia. Serta masih banyak lagi organisasi-organisasi yang dibentuk Jepang sebagai upaya untuk menarik simpati bangsa Indonesia.

Dukungan yang besar terhadap golongan Islam menyebabkan golongan nasionalis sekuler mengalami kemerosotan sehingga tidak mampu menyaingi Masyumi. Namun demikian, perkembangan berikutnya berbalik arah. Menjelang proklamasi, terutama setelah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada 29 April 1945, Jepang memberikan dukungan porsi yang lebih besar kepada golongan nasionalis sekuler daripada golongan Islam. Jepang tampaknya lebih mempersiapkan golongan nasionalis sekuler untuk memegang kendali politik Indonesia setelah kemerdekaan. Dalam persaingan kepemimpinan nasional, golongan Islam gagal menandingi popularitas golongan nasionalis sekuler, terutama Ir. Soekarno dan Hatta.[41]

Dari pembahasan di atas bisa di pahami berubahnya sikap Jepang, tidak lepas dari kenyataan bahwa tokoh-tokoh sekuler, seperti Soekarno dan Hatta, memiliki pengaruh yang lebih besar dalam masyarakat Indonesia jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh golongan Islam. Nampaknya yang mendorong Jepang memberikan peran lebih besar kepada golongan sekuler, karena Jepang mengharapkan golongan Islam kontra dengan nasionalisme sekuler. Di atas keretakan keduanya, Jepang berharap untuk dapat bertahan lama menguasai Indonesia, dan mampu meredam perjuangan bangsa Indonesia yang menginginkan Indonesia Merdeka.

D. Pendidikan Islam Pada Masa Pendudukan Jepang

Kehadiran Jepang ke Indonesia terhitung singkat, hanya 3,5 tahun. Namun waktu yang singkat ini tidak berarti bahwa Jepang tidak memberi pengaruh terhadap perkembangan pendidikan Islam. Lamanya waktu, sebagaimana yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia, tidak menjadi jaminan bangsa Belanda telah berbuat banyak terhadap pendidikan Islam. Sebaliknya Jepang yang berada di Indonesia dalam waktu singkat telah memberikan pengaruh pendidikan Islam sebagai berikut:[42]

  1. Pertama, umat Islam merasa lebih leluasa dalam mengembangkan pendidikannya, yang pada masa kolonialis Belanda bersifat diskriminatif, kini terbuka bagi setiap orang, semua mendapat kesempatan yang sama , jalur-jalur sekolah dan pendidikan menurut penggolongan keturunan, bangsa, strata atau pun status sosial dihapuskan.
  2. Kedua, sistem pendidikan Islam pada zaman pendudukan Jepang pada dasarnya masih sama dengan sistem pendidikan Islam pada zaman Belanda, yakni disamping sistem pendidikan pesantren yang didirikan kaum ulama tradisional, juga terdapat sistem pendidikan klasikal sebagai mana yang terlihat pada madrasah, yaitu sistem pendidikan Belanda yang muatannya terdapat pelajaran agama.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui sistem pendidikan yang dilakukan Jepang sebagai berikut:[43]

  1. Jenjang sekolah dasar menggunakan istilah Sekolah rakyat (SR) 6 tahun dinamakan Hutsu Djikyu Kogakko yang terbuka bagi semua golongan penduduk tanpa membedakan status sosial.
  2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) dinamakan Hutsu Tju Gakko, juga terbuka untuk semua golongan penduduk yang memiliki ijazah Sekolah Rakyat.
  3.  Dan Jenjang Sekolah diatasnya lagi, juga terbuka untuk semua penduduk.

Jepang tidak begitu ketat terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Kesetaraan pendidikan penduduk pribumi sama dengan penduduk anak-anak penguasa, bahkan Jepang banyak mengajarkan ilmu-ilmu bela diri kepada pemuda Indonesia.[44] Pada babak pertama pemerintah Jepang menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan Islam yang merupakan suatu siasat untuk kepentingan Perang Dunia II.[45]

Dai Nippon mengambil beberapa kebijakan dalam mendekati umat Islam di Indonesia antara lain :[46]

  1. Mendirikan sebuah kantor urusan agama yang diberi nama oleh Jepang Shumubu.
  2. Mengangkat Dr. Hamka yaitu orang bumi putera yang tanpa takut membeberkan bahwa tidak mungkin menyatukan ajaran Shinto yang mengharuskan menyembah Kaisar dan Matahari terbit dengan Islam yang monotheisme.
  3. Pondok pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang.
  4. Sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran-ajaran agama terutama agama islam.
  5. Pemerintah Jepang membolehkan dibentuknya barisan Hisbullah.
  6. Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta.
  7. Para ulama Islam bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin nasionalis diizinkan membentuk Barisan Pembela Tanah Air.
  8. Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut : Majelis Islam A’la Indonesia yang bersifat kemasyarakatan..

Kepercayaan Jepang ini dimanfaatkan juga oleh umat Islam untuk bagkit memberontak melawan Jepang sendiri. Pada tanggal 8 juli 1945 berdirilah Sekolah Tinggi Islam di Jakarta. Kalau ditinjau dari segi pendidikan zaman Jepang umat Islam mempunyai kesempatan yang banyak untuk memajukan pendidikan Islam, sehingga tanpa disadari oleh Jepang sendiri, bahwa umat Islam sudah cukup mempunyai potensi untuk maju dalam bidang pendidikan ataupun perlawanan kepada penjajah

Maksud dari pemerintah Jepang melakukan kebijakan-kebijakan tersebut adalah supaya kekuatan umat Islam dan nasionalis dapat dibina untuk kepentingan perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang. Di lihat dari segi militer dan sosial politik Indonesia, Jepang menampakkan diri sebagai penjajah yang sewenang-wenang. Kekayaan bumi Indonesia dikumpulkan dengan paksa untuk kepentingan perang Asia Timur Raya dan rakyatpun dikerahkan untuk kerja paksa (romusha). Semenjak itulah dunia pendidikan terbengkalai, karena murid-murid hanya disuruh baris-berbaris, bekerja bakti, menyanyi dan sebagainya. Namun yang masih beruntung adalah madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren karena bebas dari pengawasan langsung Jepang. Sehingga pendidikan masaih berjalan lancar.[47]

Pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan yang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah. Jepang menbiarkan dibukannya kembali madrasah-kmadrasah yang pernah hidup pada masa pemerintahan sebelumnya. Hal ini dilakukan karena kenyataan bahwa pengawasan pemerintahan Jepang sendiri tidak dapat menjangkau madrasah dan pesantren yang sebagian besar berlokasi di desa-desa terpencil. Namun demikian, pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendudukan Jepang di Indonesia.[48]

Kemerdekaan Republik Indonesia tak lepas dari kiprah umat Islam seperti diketahui bersama peranan mereka begitu besar. Mulai dari perlawanan terhadap penjajahan Belanda yang menganut ajaran liberal, dalam aktivitasnya berupaya untuk meliberalkan berbagai lini kehidupan termasuk dalam hal beragama. Agama yang dibawa dan diperkenalkan oleh kolonialisme adalah agama yang tunduk pada kekuasaan dan menjadi kepanjangan tangan penguasa serta bisa menjaga kondusifitas pemerintah kolonial.

Begitu juga dengan perlawanan terhadap Jepang untuk menarik simpati kaum muslimin, yang sudah terlanjur berbuat kesalahan terhadap pengajaran kepercayaan agama terhadap orang pribumi yang beragama Islam. Yang di kemudian hari memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia adalah diselenggarakannya latihan-latihan kemiliteran bagi para santri, ulama, dan umat Islam pada umumnya.

Pendudukan Jepang di Indonesia berlangsung kurang lebih tiga setengah tahun. Dalam kurun waktu tersebut Jepang mampu membuat rakyat Indonesia sengsara melebihi pada masa penjajahan Belanda yang waktunya lebih lama. Tapi masa inilah yang paling menentukan bagi bangsa Indonesia dalam usaha mencapai kemerdekaan. Banyak sekali kekejaman yang dilakukan Jepang terhadap rakyat Indonesia seperti yang diketahui bahwa Jepang datang ke Indonesia dengan beberapa tujuan di antaranya :
  1. Menjadikan Indonesia sebagai daerah penghasil dan penyuplai bahan mentah dan bahan bakar bagi kepentingan industri Jepang.
  2. Menjadikan Indonesia sebagai tempat pemasaran hasil industri Jepang, karena jumlah penduduk Indonesia sangat banyak.
  3. Menjadikan Indonesia sebagai tempat untuk mendapatkan tenaga buruh yang banyak dengan upah yang relatif murah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Taufik dkk (ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia Jakarta: MUI, 2003.

Ali Fachry dkk, Merambah Jalan Baru Islam ; Rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru Bandung: Mizan 1996.

Aziz Abdul Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Boland B.J, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, Terj. Safroedin Bahar Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985.

H. Gunawan Ary, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan Bina Aksara, 1986.

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_(1942-1945).

J. Bennda Harry, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1980.

Khuluq Latiful, Fajar Kebangkitan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari Yogyakarta: Lkis, 2000.

Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1994.

Moedjanto G., Indonesia Abad Ke-20: Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggarjati Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Mustofa Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998.

Nata Abuddin, Sejarah pendidikan Islam Jakarta: Kencana, 2011.

Nizar Samsul, Sejarah Pendidikan Islam Jakarta: Kencana, 2009.

Noer Dilier, Partai Islam di Pentas Nasional, 1945-1965 Jakarta: Grafiti Pers, 1987.

Putra Haidar Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: Kencana, 2009.

Ricklefs M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Terj. Satrio Wahono dkk Jakarta: Serambi, 2008.

Ridlo Miftakhur, “Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI)”, Makalah dipresentasikan 31 Mei 2013, Konsentrasi Pemikiran Islam Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Sunanto Musyrifah, Sejarah peradaban Islam Indonesia Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Syaefudin Machfud dkk, Dinamika Peradaban Islam, Yoyakarta: Pustaka Ilmu, 2013.

Syafi’i Ahmad Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Jakarta: LP3ES, 1985.

______, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965 Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Syukur Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009.

Van Martin Bruinesse, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Terj. S. Farid Wajdi Yogyakarta: Lkis, 1997.

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

[1]Ary H.Gunawan, Kebijakan- Kebijakan Pendidikan (Bina Aksara, 1986), h. 29.

[2]Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2009), h. 36.

[3]http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_(1942-1945).

[4]G. Moedjanto, Indonesia Abad Ke-20: Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggarjati (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 74-75.

[5]Shinto adalah agama resmi Jepang, Shinto sebenarnya bersasal dari bahasa China yang berarti “jalan para Dewa”, “pemujaan para Dewa”, “pengajaran para Dewa”, Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Shinto.

[6]http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara1942-1945.

[7]Musyrifah Sunanto, Sejarah peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 41-43.

[8]Machfud Syaefudin dkk, Dinamika Peradaban Islam, (Yoyakarta: Pustaka Ilmu, 2013), h. 284.

[9]B.J Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, Terj. Safroedin Bahar (Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985), h. 12-13.

[10]Harry J. Bennda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1980), h. 183.

[11]Martin Van Bruinesse, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Terj. S. Farid Wajdi (Yogyakarta: Lkis, 1997), h. 54.

[12]Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 86-87.

[13]Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 234.

[14]B.J Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, (Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985), h. 15.

[15]Machfud Syaefudin,dkk, Dinamika Peradaban Islam, (Yoyakarta: Pustaka Ilmu, 2013), h. 284.

[16]M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Terj. Satrio Wahono dkk (Jakarta: Serambi, 2008), h. 298.

[17]http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_(1942-1945).

[18]Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, 234-243., Lihat juga Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965 (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 19-20

[19]Taufik Abdullah dkk (ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: MUI, 2003), h. 195.

[20]Harry J. Benda, Bulan Sabit, h. 139.

[21]Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik, h. 20.

[22]Harry J. Bennda, Bulan Sabit, h. 34.

[23]Harry J. Bennda, Bulan Sabit, h. 142.

[24]Harry J. Bennda, Bulan Sabit, h. 197.

[25]Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik, h. 20.

[26]Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik, h. 20-21.

[27]Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1994), h. 25.

[28]Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, h. 216.

[29]Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 99.

[30]Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik, h. 21.

[31]Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, h. 142-143.

[32]Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, h. 148-149

[33]Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, h. 149.

[34]Dilier Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, 1945-1965 (Jakarta: Grafiti Pers, 1987), h. 23.

[35]Dilier Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, 1945-1965, h. 23-24.

[36]Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, h. 187.

[37]Lihat Miftakhur Ridlo, “Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI)”, Makalah dipresentasikan 31 Mei 2013, Konsentrasi Pemikiran Islam Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, h. 2.

[38]Latiful Khuluq, Fajar Kebangkitan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari (Yogyakarta: Lkis, 2000), h. 90.

[39]Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru ( Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 150; Lihat Taufik Abdullah dan Muhammad Hisyam (ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, h. 199.

[40]Fachry Ali dkk, Merambah Jalan Baru Islam ; Rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru(Bandung: Mizan 1996), h. 81.

[41]Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara, h. 151.

[42]Abuddin Nata, Sejarah pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2011), h. 308-309.

[43]Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan (Bina Aksara, 1986), h. 29.

[44]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2009), h. 314.

[45]Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 151.

[46]Abdullah Mustofa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 102.

[47]Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, h. 152.

[48]Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, h. 89.

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html