Sunday 8 May 2016

Partai Politik Islam Pada Masa Penjajahan 1945-1949

http://blog.imanbrotoseno.com/
Oleh : Erna Mardiana

Pada masa penjajahan Belanda, kata Islam merupakan kata pemersatu bagi orang Indonesia, bukan saja berhadapan dengan pihak penjajah, tetapi juga dengan orang-orang Cina. Berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI tahun 1911, kemudian Sarekat Islam, SI tahun 1912) mulanya diarahkan kepada orang-orang Cina di Solo. Penyebarannya ke segenap penjuru tanah air pada waktu itu, dengan meliputi segenap lapisan penduduk dari bawah sampai atas, lebih karena didorong oleh perasaan seagama.

Akan tetapi dalam lapangan politik, kalangan Islam tidak berhasil bersatu. Pemetaan umat Islam ke dalam dua kelompok, tradisionalis dan modernis mulai berkembang dan dalam bidang politik, kalangan tradisionalis belum menjadi penting sehingga kalangan pembaharulah yang lebih banyak terlibat dalam politik. Oleh sebab itu, perbedaan dalam politik di zaman Belanda tidak terjadi antara kalangan modernis dengan kalangan tradisionalis, melainkan antara kalangan modernis sendiri. Perbedaan itu lebih disebabkan oleh pertimbangan politik daripada pertimbangan agama.



Dalam bidang sosial, Partai-Partai Islam dapat bekerjasama dan dengan organisasi sosial Islam dalam federasi MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1935, tetapi dalam bidang politik, masing-masing kelihatan bergerak sendiri-sendiri. Ketika Gabungan Politik Indonesia (Gapi) didirikan pada tahun 1939, PSII (Partai Syarekat Islam Indonesia) hanya bersedia masuk di dalamnya setelah mendapat jaminan bahwa kelompok Salim (Anggota yang sudah dipecat) tidak akan diajak. Sedangkan Komite Kebenaran dari Kartosuwirya berada di luar Gapi dan MIAI.

A. Partai Politik Islam Masa Belanda 

Masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa (waktu itu Hindia Belanda). Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa itu semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah, ataupun yang berazaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan Partai Katolik, ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka. 

Kehadiran partai politik pada masa permulaan merupakan menifestasi kesadaran nasional untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Setelah didirikan Dewan Rakyat, gerakan ini oleh beberapa partai diteruskan di dalam badan ini. Pada tahun 1939 terdapat beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat, yaitu Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. Husni Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera) di bawah pimpinan Prawoto dan Indonesische Nationale Groep di bawah pimpinan Muhammad Yamin. 

Di luar dewan rakyat ada usaha untuk mengadakan gabungan partai politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan rakyat. Pada tahun 1939 dibentuk KRI (Komite Rakyat Indoneisa) yang terdiri dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang merupakan gabungan dari partai-partai yang beraliran nasional, MIAI (Majelis Islam A’laa Indonesia) yang merupakan gabungan partai-partai yang beraliran Islam yang terbentuk tahun 1937, dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia) yang merupakan gabungan organisasi buruh. 

Pada tahun 1939 di Hindia Belanda telah terdapat beberapa fraksi dalam volksraad yaitu Fraksi Nasional, Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi-Putera, dan Indonesische Nationale Groep. Sedangkan di luar volksraad ada usaha untuk mengadakan gabungan dari Partai-Partai Politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan nasional yang disebut Komite Rakyat Indonesia (K.R.I). Di dalam K.R.I terdapat Gabungan Politik Indonesia (GAPI), Majelisul Islami A'laa Indonesia (MIAI) dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI). Fraksi-fraksi tersebut di atas adalah merupakan partai politik - partai politik yang pertama kali terbentuk di Indonesia.[1]

B. Partai Politik Islam Masa Jepang 

Pada masa pendudukan Jepang, MIAI kembali didirikan di Jakarta tanggal 5 September 1942, federasi ini kemudian diubah menjadi Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada akhir tahun 1943. Namun baik MIAI maupun Masyumi pada zaman jepang ini tidak meliputi organisasi-organisasi di Luar Jawa karena pemisahan administrasi pemerintahan ketika itu. Anggota anggota MIAI di Jawa pun terbatas pada organisasi-organisasi Islam yang diakui. 

Satu perkembangan menarik pada masa ini adalah peluang yang diberikan Jepang terhadap ulama untuk berkiprah dalam bidang politik. Pemerintah juga mendirikan kantor administrasi agama yang berusaha melakukan semua kegiatan tentang Islam. Sejak itu, ulama mulai tertarik untuk bekerja di kantor pemerintahan (pusat dan daerah). Akibat negatifnya adalah berkurangnya jumlah ulama yang memusatkan perhatiannya pada usaha menjaga keperluan rohani umat karena pindah ke kota-kota.[2]

Setelah berhasil menghancurkan kekuatan Belanda, Jepang akhirnya dikalahkan pada tahun 1945, maka terbukalah jalan bagi kemerdekaaan Indonesia. Tanggal 17 Agustus tahun 1945, Sukarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.[3] Kemerdekaan ini diraih melalui perjuangan kekuatan senjata, gerakan politik dan diplomatik serta kekuatan iman.[4] Dengan bantuan Australia dan Inggris, Belanda berusaha merebut kembali kekuasaan atas wilayah Hindia dengan perlawanan dari pasukan tentara Indonesia dan tekanan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Belanda akhirnya dipaksa mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.[5]

Pada era pasca kemerdekaan, muncul beberapa wajah politik Islam. Pada tingkat partai, dua organisasi politik utama berupaya mendominasi mayoritas Muslim di republik baru ini; kedua kelompok itu mencerminkan keterbagian historis kaum Muslim. NU mendukung pandangan nonmodernis yang lebih tradisional, dan Masyumi berdiri sebagai partai Islam yang modernis. Mereka berlomba memimpin orang Indonesia yang berminat pada pemerintahan yang didasarkan atas nilai-nilai Islam, dan sangat menentang pengaruh sekuler dan khususnya komunis. 

C. Partai Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan dan Lembaga Islam (1945-1949) 

1. Partai Islam di Indonesia(1945-1949) 

Ketika Jepang semakin terdesak dalam perang Pasifik, perdana menteri Kiniaki Kaiso di depan Ulimereo Diet (parlemen) yang ke-85 tanggal 7 September 1944 menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia dalam waktu yang dekat. Sebagai realisasinya pada tanggal 9 April 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). BPUPKI terdiri atas 38 orang anggota, yang terdiri dari 8 orang Jepang dan 15 orang dari golongan Islam,[6] dan selebihnya dari golongan nasionalis sekuler dan priyayi Jawa. 

Tugas BPUPKI adalah merumuskan bentuk negara, batasan negara, dasar filsafat negara, dan masalah-masalah lain yang perlu dimasukkan dalam konstitusi. Dalam sidang-sidangnya BPUPKI mengalami berbagai perdebatan ideologis yang sengit antara golongan Islam dengan golongan nasional sekuler tentang dasar-dasar negara yang akan diberlakukan di negara yang akan berdiri. Sebenarnya yang diperjuangkan oleh para tokoh Islam bukanlah realisasi negara Islam, tetapi lebih tepat pada adanya jaminan terhadap pelaksanaan syariat ajaran-ajaran Islam. Sedangkan golongan nasionalis yang dipelopori Sukarno dan Muhammad Hatta menghendaki negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam. 

Untuk meredam perpecahan, akhirnya disepakati untuk membentuk “Panitia Sembilan” yang terdiri dari lima orang dari golongan sekuler, yaitu Sukarno, Muhammad Hatta, Achmad Subarjo, Muhammad Yamin dan A.A Maramis. Sedangkan golongan Islam diwakili oleh H. Agus Salim, Kiai Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Mudzakir. 

Setelah bergumul selama lebih kurang 21 hari, akhirnya pada 22 Juni 1945 suatu sintesis dan kompromi politik dapat diwujudkan antara dua pola pemikiran yang berbeda. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Dalam piagam ini terdapat anak kalimat pengiring pada sila pertama: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” 

Pada waktu proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Piagam Jakarta sama sekali tidak digunakan. Sukarno-Hatta justru membuat teks proklamasi yang lebih singkat karena ditulis dengan tergesa-gesa.[7] Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari. Anak kalimat pengiring yang terdiri dari tujuh atau delapan perkataan tersebut dirasakan oleh sebagian bangsa kita di belahan Timur sebagai diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. 

Perlu diketahui, menjelang kemerdekaan, setelah Jepang tidak dapat menghindari kekalahan dari tentara sekutu, BPUPKI ditingkatkan menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Berbeda dengan BPUPKI yang khusus untuk pulau Jawa, PPKI merupakan perwakilan daerah seluruh kepulauan Indonesia. Perubahan itu menyebabkan banyak anggota BPUPKI yang tidak muncul lagi,[8] termasuk beberapa orang anggota Panitia Sembilan. 

Dalam suasana seperti itu, M. Hatta dalam sidang PPKI setelah kemerdekaan berhasil dengan mudah meyakinkan anggota bahwa hanya suatu konstitusi “sekuler” yang mempunyai peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat Indonesia. Maka demi persatuan bangsa, akhirnya anak kalimat itu pada tanggal 18 agustus 1945 dibuang dari pembukaan UUD 1945. Tujuh kata dalam anak kalimat yang tercantum dalam sila pertama Pancasila dengan segala konsekuensinya dihapuskan dari konstitusi. Bahkan kantor urusan agama seperti yang diperoleh Islam selam pendudukan Jepang, oleh panitia pun ditolak. 

Oleh golongan nasionalis sekuler keputusan itu dianggap sebagai gentleman’s agrement kedua yang menghapuskan Piagam Jakarta sebagai gentleman’s agrement pertama. Sementara itu, keputusan yang sama dipandang oleh golongan nasionalis Islam sebagai mengkhianati gentleman’s agrement itu sendiri. Para nasionalis Islam mengetahui bahwa Indonesia Merdeka yang mereka perjuangkan dengan penuh perngorbanan itu, jangankan berdasarkan Islam, Piagam Jakarta pun tidak. Hal tersebut menyebabkan kekecewaan yang luar biasa bagi para nasionalis Islam. 

Yang melegakan hati umat Islam adalah keputusan Komite Nasional Islam Pusat (KNIP), pengganti PPKI, yang bersidang tanggal 25, 26, dan 27 November 1945. Komite yang dipimpin oleh Sutan Syahir, pimpinan utama Partai Sosialis Indonesia (PSI) itu antara lain membahas usul agar dalam Indonesia merdeka ini soal-soal keagamaan digarap oleh satu kementrian tersendiri dan tidak lagi diperlakukan sebagai bagian tangung jawab Kementerian Pendidikan. Sedikit banyak keputusan tentang kementerian Agama ini merupakan semacam konsesi kepada kaum muslimin yang bersifat kompromi; kompromi antara teori sekuler dan teori muslim. 

Meskipun Departemen Agama dibentuk, namun hal itu tidak meredakan konflik ideologi pada masa sesudahnya. Di beberapa wilayah pinggiran, beberapa kelompok Muslim menolak sikap kompromi ini dan bersikeras untuk bertempur demi merealisasikan sebuah negara Islam. Di antara gerakan pemberontakan Islam yang terbesar adalah Dar al-Islam, yang didirikan oleh mantan aktivis Sarekat Islam bernama Kartosuwiryo. Ia berperang melawan Belanda pada tahun 1947 dan pada tahun 1948 ia tidak mau menerima perjanjian Renville antara Indonesia dan Belanda, keluar dari partai Masyumi, bertahan untuk melanjutkan pertempuran militer dengan caranya sendiri, dan menyatakan dirinya sebagai imam untuk sebuah pemerintahan Islam sementara, Negara Islam Indonesia. Negara Islam ini ditegaskan sebagai negara yang berdasarkan al-Qur’an dan hadits, dan sebuah republik konstitusi dengan sebuah parlemen hasil pemilihan. Sang imam, yang dipilih oleh parlemen, merupakan kepala negara. Negara baru tersebut menegaskan bahwasanya negara memberikan perlindungan yang sama di muka hukum, hak standar kehidupan yang tinggi, dan kebebasan beribadah, berbicara, dan perwakilan untuk seluruh warga. Pertempuran militer melawan Belanda dan belakangan melawan Republik Indonesia terus berlangsung hingga gerakan ini akhirnya dibasmi pada tahun 1962.[9]

Setelah wakil Presiden mengeluarkan maklumat tentang diperkenankannya mendirikan partai-partai politik, tiga kekuatan yang sebelumnya bertikai muncul kembali. Pada tanggal 7 November 1945 Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) lahir sebagai wadah aspirasi umat Islam, 17 Desember 1945 Partai Sosialis yang mengkristalisasikan falsafah hidup Markis berdiri, dan 29 Januari 1946, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mewadahi cara hidup nasionalis “sekuler” pun muncul. Partai-partai yang berdiri sesudah itu dapat dikategorikan ke dalam tiga aliran utama ideologi yang terdapat di Indonesia di atas. Partai-partai Islam setelah merdeka selain Masyumi adalah Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) yang keluar dari Masyumi tahun 1947, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Nahdlatul Ulama (NU) yang keluar dari Masyumi tahun 1952.[10]

Dalam masa-masa revolusi, konflik ideologi di atas memunculkan tiga alternatif dasar negara: Islam, Pancasila, dan Sosial Ekonomi. Tetapi, dalam perjalanan sidang-sidang konstituante itu, perdebatan ideologis mengenai unsur dasar negara terkristal menjadi Islam dan Pancasila. 

Partai politik Islam yang penting adalah Masyumi. Dalam tubuh Masyumi ini Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berfungsi sebagai anggota korporasi. Pada bulan November 1945 para politisi Islam Modern perkotaan yang dipimpin oleh Sukiman Wirjosandojo, Natsir dan lainnya berhasil memperoleh kembali kekuasaan dari para pemimpin Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang didukung oleh pihak Jepang. [11]

Departemen Agama (sekarang namanya Kementrian Agama) didirikan pada masa kabinet Syahrir yang mengambil keputusan tanggal 3 januari 1946 untuk memberikan sebuah konsesi kepada kaum muslimin. Menteri agama pertama adalah M. Rasyidi yang diangkat pada tanggal 12 Maret 1946.Usaha untuk mendirikan departemen itu mulanya mendapat halangan dari para perumus UUD 1945, ketika PPKI mengadakan rapat tangggal 19 Agustus 1945.Akan tetapi, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), pada tanggal 11 November 1945 mengusulkan pendiriannya.Usul itu diprakarsai oleh K.H Abu Dardiri, K.H. Saleh Su’aidi, dan M. Sukoso Wirjosaputro, kesemuanya adalah anggota KNIP dari daerah Abnyumas.Usul itu mendapat dukungan dari M. Natsir, Dr. Muwardi, Dr. Marzuki Mahdi, dan M. Kartosudarmo (semuanya anggota KNIP) dan disetujui oleh badan legisatif tersebut. Dapat dikatakan bahwa berdirinya Departemen Agama merupakan penyesuaian pihak pemerintah kala itu dengan keinginan mayoritas muslim. 

Sebelum terbentuknya kementerian ini, ada pembahasan mengenai apakah kementerian ini akan dinamakan Kementerian Agama Islam ataukah Kementerian Agama. Akhirnya diputuskan menjadi Kementerian Agama, yang pertama-tama mempunyai tiga seksi dan kemudian empat seksi.Masing-masing untuk kaum muslimin, umat Protestan, umat Katolik Roma, dan umat Hindu-Budha. Karena ia tidak mengatur hanya satu agama, tetapi lima agama yang diakui di Indonesia, maka pemimpin politik Indonesia mengatakan bahwa Indonesia bukanlah negara “sekuler” dan bukan juga negara agama. Dasar pertama dari Pancasila adalah “Ketuhanan Yagn Maha Esa”, dianggap memadai untuk membenarkan adanya Departeman Agama. 

Setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai mendapat perhatian lebih serius.Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam bulan Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan.Badan ini juga mendesak pemerintah agar memberikan bantuan kepada madrasah.Departemen Agama dengan segera membentuk seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan agama Islam dan Kristen, mengawasi pengangkatan guru-guru agama, dan mengawasi pendidikan agama. Pada tahun 1946, Departemen agama mengadakan pelatihan 90 guru agama, 45 orang di antaranya kemudian diangkat sebagai guru agama.Pada tahun 1948, didirikanlah sekolah guru dan hakim Islam di Solo. 

Haji Mahmud Yunus, seorang alumni Kairo yang di zaman Belanda memimpin Sekolah Normal Islam di Padang, menyusun rencana pembangunan pendidikan Islam. Ketika itu ia mengepalai seksi Islam dari kantor Agama Propinsi. Dalam rencananya, ibtidaiyah selama 6 tahun, tsanawiyah pertama 4 tahun dan tsanawiyah atas 4 tahun.Gagasannya ini dilaksanakan di Lampung tahun 1948.Sementara itu Aceh, meleksanakan gagasannya sendiri.Banyak sekolah-sekolah swasta di daerah ini dijadikan sekolah negeri, sekurang-kurangnya memperoleh subsidi dari pemerintah.Mahmud Yunus juga menyarankan agar pelajaran agama diberikan di selkolah-sekolah “umum” yang disetujui oleh konperensi pendidikan se-Sumatera di Padang Panjang, 2-10 Maret 1947. 

Bentuk-bentuk lemabaga pendidikan Islam swasta adalah: pertama, Pesantren Indonesia Klasik. Kedua, Madrasah diniyah (sekolah agama), yaitu sekolah-sekolah yang memberikan pelajaran tambahan bagi murid sekolah negeri yang berusia 7-20 tahun. Ketiga, madrasah-madrasah swasta, biasanya mata pelajaran dan sistem pengajaran sama dengan sekolah negeri. Berkenaan dengan Perguruan Tinggi Islam, kaum muslimin di Indonesia sejak awal sudah berpikir untuk membangunnya. Mahmud Yunus membuka islmaic College pertama tanggal 9 Desember 1940 di Padang, yang terdiri dari fakultas Syariah dan fakultas Pemdidikan dan Bahasa Arab. Tujuannnya adalah untuk mendidik ulama. 

Universitas Islam Indonesia (UII) adalah perguruan tinggi Islam pertama yang memilki fakultas-fakultas non-agama.IA bermula di awal tahun 1945, di saat Masyumi memutuskan untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta.Dengan bantuan dari pemerintah pendudukan Jepang, lembaga ini dibuka pada tanggal 8 juli 1945 di Jakarta.Tidak lama setelah itu, lembaga ini ditutup karena gedung-gedung dikuasai oleh pasukan sekutu, dan dibuka kembali tanggal 10 April 1946 di Yoigyakarta. Pada tanggal 22 Januari 1950 sejumlah pemimpin Islam mendirikan sebuah universitas Islam di Solo,dan 20 Februari 1951 kedua universitas Islanm di Yogyakarta dan di Solo itu disatukan dengan nama Universitas Islam Indonesia (UII) yang sejak itu mempunyai cabang di dua kota tersebut. Setelah itu, mulai banyak muncul perguruan tinggi dan universitas Islam. 

DAFTAR PUSTAKA 

Anggotasidang PPKI saatituadalah 27 orang, namunhanyatigaanggota yang berasaldariorganisasi Islam, yaitu Ki BagusHadikusumo, KH.A. Wahid HasyimdanKasmanSingodimejo.LihatAhmad Syafi’IMaarif, Islam danPolitik, TeoriBelahBambuMasaDemokrasiTerpimpin. 

Ira. M. Lapidus, SejarahSosialUmat Islam bagian III, Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 2000. 

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern ,Cet. IX; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007. 

Rosyada,Dede, Hukum Islam danPranataSosial, Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 1999. 

TeoriBelahBambuMasaDemkrasiTerpimpin, Jakarta: GemaInsani Press, 1996. 

Yatim,Badri, SejarahPeradabanIslam, Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 2002. 

http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_politik_di_Indonesia 
[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_politik_di_Indonesia 
[2]https://notes/kajian-intensif-islamiyah-kifayah-kairo-mesir/partai-politik-islam-di-indonesia-parpol-islam-sebuah-kebutuhan. 
[3]Ira. M. Lapidus, SejarahSosialUmat Islam bagian III(Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 2000), 339. 
[4]DedeRosyada, Hukum Islam danPranataSosial(Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 1999), 190 
[5]Ira. M. Lapidus, SejarahSosialUmat Islam bagianIII, h. 339. 
[6]Ahmad Syafi’iMa’arif, Islam danPolitik, TeoriBelahBambuMasaDemkrasiTerpimpin, (Jakarta: GemaInsani Press, 1996). 
[7]BadriYatim, SejarahPeradabanIslam (Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 2002), h. 265. 
[8]Anggotasidang PPKI saatituadalah 27 orang, namunhanyatigaanggota yang berasaldariorganisasi Islam, yaitu Ki BagusHadikusumo, KH.A. Wahid HasyimdanKasmanSingodimejo.LihatAhmad Syafi’IMaarif, Islam danPolitik, TeoriBelahBambuMasaDemokrasiTerpimpin, h. 29. 
[9]Ira M Lapidus, SejarahSosialUmat Islam bagian III, h. 339. 
[10]BadriYatim, SejarahPeradaban Islam, h. 267 
[11]M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Cet. IX; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), h. 332.

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html